Kantor Perwakilan

Memetakan Regulasi SDA yang Berdampak pada HAM

Komnas HAM RI Perwakilan Maluku menyelenggarakan Focus Group Discussion Kajian Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam di Maluku, bersama dengan pihak-pihak yang terkait pada Selasa (24/7/2018) di Hotel Amaris, Ambon.


Pertemuan tersebut menindaklanjuti hasil Pengumpulan Data Tahap I pada 28 Mei s/d 1 Juni 2018 di Pulau Buru, Tahap II pada 25 s/d 28 Juni 2018 di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Tahap III pada 4 s/d 6 Juli 2018 di Kota Ambon tentang Kajian Perda Terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam Provinsi Maluku. Pelaksanaan Focus Group Discussion ini dalah bagian dari tindaklanjut Penelitian Komnas HAM.


Kegiatan dihadiri oleh 27 peserta yang terdiri dari perwakilan pihak Pemerintah Provinsi  dalam hal ini Bagian Hukum Pemprov Maluku, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas ESDM, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, Dinas Penanaman Modal Daerah Maluku (DPMPTSP), BPKH Wilayah IX Provinsi Maluku. kegiatan ini juga menghadirkan beberapa NGO/LSM Lokal yang konsen terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat, Ombudsman RI Perwakilan Maluku, BKSDA Maluku, Akademisi dan Pakar Lingkungan Dr. Yusthinus Thobias Male, S.Si, M.Si.


Kegiatan dibuka dengan penyampaian Program Pengkajian Komnas HAM RI tahun 2018 oleh Asri Oktavianti Wahono (Kasubbag Dukungan Pengkajian dan Penelitian Hak EKOSOB Komnas HAM RI) yang dilanjutkan dengan Penyampaian awal hasil Pengkajian Lapangan oleh Peneliti Komnas HAM RI Perwakilan Maluku Djuliyati Toisuta.


Kemudian acara dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh 2 (dua) narasumber diantaranya DR. Jenny. K. Matuankotta, SH. M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura) dan Ajanisam Tomalima, SH. MH (Kasubag Rancangan Produk Hukum Daerah Biro Hukum Pemda Maluku) yang dimoderatori oleh Jusmalinda Holle (Komnas HAM RI Perwakilan Maluku).


Setelah pemaparan narasumber, Moderator melanjutkan dengan penggalian informasi dengan metode sharing informasi dimana dalam proses tersebut focus diskusi diarahkan untuk:


  1. Melihat kebijakan Pemerintah Daerah terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis atas Hak Masyarakat Adat.
  2. Mengalisa tantangan yang dihadapi (kekuatan dan kelemahan) yang ada saat ini, baik dari sisi kebijakan dan aturan dari tingkat Kabupaten sampai Nasional.
  3. Upaya transformative yang dilakukan guna mengatasi persoalan dan strategi kedepan.
  4. Pihak-pihak yang dapat dilibatkan dan terlibat dalam upaya pemenuhan Hak atas Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dari hasil ini diperoleh berbagai informasi terkait persoalan yang timbul dalam Hak atas Pengelolaan Sumber Daya Alam meliputi:


  1. Kurang tersedianya produk hukum daerah dan Peraturan Daerah (Penetapan wilayah Masyarakat Hukum Adat)sebagai dasar utama penetapan hutan adat dan ini perlu disikapi dengan merancang strategi lain untuk dapat tetap memberikan akses kelola kepada masyarakat hukum adat.
  2. Minimnya pemahaman masyarakat terkait Pertambangan, dan ini berkaitan dengan untung dan ruginya keberadaan tambang di wilayah adat masyarakat hukum adat dan atau masyarakat dimana areal tambang beroperasi.
  3. Selama ini Pemerintah tidak melihat secara menyeluruh keterlibatan relasi sosial (tokoh adat, tokoh masyarakat dll) sebagai bagian dari Perencanaan Pengelolan Sumber Daya Alam baik Pertambangan maupun Kehutanan.
  4. Kebanyakan semua peraturan yang berlaku di semua tingkat pemerintahan hanya menyampaikan panduan kriteria yang sangat umum, dan kemudian menyerahkan pelaksanaannya kepada eksekutif. Akibatnya, pelaksanaan peraturan menjadi tidak konsisten pada saat para pimpinan lembaga eksekutif diganti atau pada saat kebutuhan politik mereka berubah.
  5. Kepastian hukum sering terabaikan hanya karena tidak ada yang tahu siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan keputusan-keputusan dari sebuah Perda yang disusun.
  6. Hubungan social yang terkait dengan dengan jenis-jenis hak menjadi sangat signifikan ; seperti halnya hak atas tanah dan akses atas sumberdaya hutan.
  7. Belum tersingkronisasinya UU Minerba dan UU Migas yang mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014. Hal ini menyebabkan terjadinya miss komunikasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemkab.
  8. Adanya degradasi lingkungan dan sumberdaya Ikan serta konflik pemanfaatan ruang WP3K akibat belum dilaksanakan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berbasis RZWP3K.
  9. Belum tegasnya penegakan Hukum dan sanksi atas ketidaktaatan pelaksanaan kewajiban pelaku usaha.
  10. Untuk wilayah Pertambangan Emas di areal Gunung Botak Pulau Buru berdasarkan penelitian pada tahun 2012, telah ditemukan kandungan merkuri di dalam air sungai yang telah melebihi ambang batas. Sampel yang diambil di beberapa lokasi di sungai menunjukkan, kadar merkuri tertinggi 9 miligram (mg) per 1 kilogram (kg) lumpur. Di pesisir Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai itu ditemukan konsentrasi merkuri sebanyak 3 mg per 1 kg lumpur, padahal ambang batas merkuri tidak boleh lebih dari 0,1 mg per 1 kg lumpur. Kandungan merkuri juga ditemukan pada sejumlah tanaman seperti kacang panjang dan terong.
  11. Penelitian selanjutnya di Tahun 2014, menemukan merkuri sudah masuk ke tubuh manusia, baik melalui udara maupun rantai makan. Selain sungai, sejumlah biota laut di Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai juga sudah terkontaminasi merkuri. Sedangkan kandungan merkuri pada udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari Teluk Kayeli mengandung konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel yang diambil. Semuanya melampaui batas atas menurut standar nasional yang hanya 0,5 miligram per 1 kilogram sampel.Pada udang, kandungan merkuri tiga kali dari standar, ikan tujuh kali, kerang-kerangan enam kali, dan kepiting dua kali. (JH/25.7.208)