Kepala
Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama didampingi Subkor Layanan Fungsi
Penegakan HAM Mulia Robby Manurung, Pemantau Aktivitas HAM Eka Azmiyadi dan
Penata Mediasi Sengketa HAM Sari Melati, Rabu 3 Agustus 2022 menerima kunjungan
Tim Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Kementerian Hukum dan HAM RI.
Tim Penelitian yang beranggotakan Tony Yuri Rahmanto, Ganesh Cintika
Putri dan Febri Battyanan mengunjungi Komnas HAM Perwakilan Aceh sebagai bagian dari rangkaian
kegiatan analisis isu kebijakan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dalam
kunjungan tersebut, Tim penelitian mengajukan sejumlah pertanyaan dan meminta
masukan Komnas HAM Perwakilan Aceh terhadap isu kebijakan tentang KKR yang
nantinya akan digunakan untuk memperkaya materi dalam proses penyusunan naskah
akademik dan penyempurnaan draft rancangan undang-undang KKR.
Mengawali
pengantarnya Sepriady menyampaikan bahwa Komnas HAM sangat mendukung percepatan
penyusunan Undang-Undang KKR, karena hal itu akan membantu penyelesaian kasus
dugaan pelanggaran HAM yang berat masa lalu di Indonesia melalui mekanisme non
judisial. Saat ini, KKR Aceh juga sangat membutuhkan kehadiran KKR Nasional dan
Undang-Undang KKR. Hal ini penting, karena KKR di Aceh adalah bagian dari KKR nasional
sebagaimana disebut dalam ketentuan Pasal 229 Undang-Undang No. 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Sepriady
melanjutkan bahwa secara yuridis Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh yang
menjadi turunan dari UU No. 11 Tahun 2006, masih dapat diperdebatkan dari sisi hirarkinya,
substansi atau sejumlah materi, termasuk definisi mengenai pelanggaran HAM
berat. Dalam Qanun disebutkan bahwa
pelanggaran HAM berat terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang dan kejahatan agresi, sehingga menyimpang dan tidak sesuai dengan
pengertian pelanggaran HAM berat berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000.
Untuk
itu Komnas HAM berharap agar penyusunan draf rancangan undang-undang KKR yang
disusun oleh pemerintah dan DPR nantinya benar-benar memperhatikan serta mengakomodir
prinsip HAM Internasional yang diterima secara universal dan konstitusional,
termasuk rentang waktu masa transisi dan kapan berakhirnya masa kerja KKR.
Sepriady, menambahkan bahwa mekanisme KKR adalah bentuk pemenuhan keadilan yang
dalam masa transisi. Untuk konteks Aceh, transisi dari masa konflik dan represi
ke masa damai dan demokratis. Selain itu, Undang-Undang KKR juga dapat
dirancang dengan membuka ruang paritisipasi lokal dalam konteks rekonsiliasi,
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. (EA)