Pendidikan dan Penyuluhan

Perkuliahan Jarak Jauh STIK dari Komnas HAM

Walaupun dihadapan publik hubungan antara Komnas HAM dan POLRI terlihat tidak sinergi namun kerjasama pendidikan antar dua lembaga tetap berjalan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kunjungan studi Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Angkatan 65 dan Angkatan 66 ke Komnas HAM dalam rangka program Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) untuk mata kuliah HAM dan Kepolisian. Kunjungan tersebut dilakukan dalam dua waktu yang berbeda yaitu 12 Februari 2015 untuk Angkatan 66 dan 27 Februari 2015 untuk Angkatan 65. Program PJJ tersebut diikuti siswa-siswa STIK yang bertugas di Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Banten, dan seluruh siswa STIK yang tersebar di 33 Polda di Indonesia melalui teleconference.

Kunjungan program PJJ Angkatan 66 diterima oleh M. Imdadun Rahmat selaku Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan, sedangkan Angkatan 65 diterima Ansori Sinungan selaku Wakil Ketua Bidang Internal. Keduanya mengambil tema “Komnas HAM: Perbandingan antara Instrumen HAM dan Upaya Penegakan Hukum di Indonesia”.

Dalam paparannya, masing-masing komisioner menjelaskan tentang tanggung jawab negara di mana polisi sebagai bagian dari negara, pelanggaran HAM dan mengapa aparatur negara sebagai pelaku pelanggaran HAM, jumlah kasus yang diadukan dan ditangani melalui penyelidikan maupun mediasi oleh Komnas HAM selama tahun 2014, kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komnas HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 40 Tahun 2008 serta rambu-rambu yang sebaiknya menjadi pegangan polisi agar tidak terjadi pelanggaran HAM atas tindakan polisi di lapangan.

Proses diskusi yang difasilitasi oleh Dr. Yundini H. Erwin, M.A., selaku pengampu mata kuliah HAM dan Kepolisian. Pada diskusi Angkatan 66, siswa dari Polda Bali mempertanyakan tentang prosedur penetapan suatu kasus atau suatu perbuatan sebagai pelanggaran HAM pada aspek indikator maupun kemungkinan keterlibatan pihak eksternal seperti staf ahli atau lembaga lain. Sedangkan mahasiswa dari Polda Sulawesi Selatan mempertanyakan tentang urgensi ratifikasi Statuta Roma bagi penegakan HAM di Indonesia. Mahasiswa dari Polda Kalimantan Selatan mempertanyakan tentang urgensi Komnas HAM menyatakan penangkapan Bambang Widjoyanto (BW) termasuk dalam pelanggaran HAM.

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut Komisioner M. Imdadun Rahmat menegaskan kembali tentang mandat Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus yang terindikasi terjadi pelanggaran HAM dengan menerapkan indikator-indikator yang ada serta meminta masukan-masukan dari pihak-pihak yang dirasa memiliki pengalaman dalam penanganan kasus tersebut. Terkait Statuta Roma, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam penyusunannya mendasarkan pada hukum internasional dan Statuta Roma meskipun tidak secara utuh mengadopsi kedua aturan internasional tersebut. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan dari Polda Kalimantan Selatan, mengembalikan pada 10 hak yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 di mana salah satunya menyangkut hak seseorang untuk memperoleh keadilan.

Pada proses diskusi di Angkatan 65, siswa dari Polda Kalimantan Tengah menanyakan relevansi UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jika dikaitkan dengan perlindungan HAM bagi warga negara. Mahasiswa dari Polda Jateng menanyakan pandangan dan sikap Komnas HAM terhadap hukuman mati bagi terpidana mati (Bali Nine). Mahasiswa dari Polda Bali menanyakan tentang mekanisme Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM apakah reaktif, proaktif atau hanya menunggu menerima pengaduan.

Menanggapi pertanyaan siswa STIK Angkatan 65 tersebut, Wakil Ketua Komnas HAM menegaskan pada prinsipnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP masih relevan namun begitu tetap perlu dikaji ulang terutama dalam penerapannya di lapangan. Terkait pertanyaan tentang hukuman mati, narasumber menegaskan pada prinsipnya hukuman mati adalah pelanggaran HAM yaitu pelanggaran hak hidup. Sikap Komnas HAM jelas menolak hukuman mati. Menanggapi pertanyaan tentang mekanisme Komnas HAM, narasumber menyampaikan pada dasarnya Komnas HAM menerima pengaduan dari siapapun dan tidak boleh menolak, penetapan suatu kasus merupakan pelanggaran HAM atau bukan dilakukan melalui diskusi panel dan investigasi.

Kunjungan siswa STIK yang dulu disebut PTIK tersebut rutin dilakukan setiap tahunnya dan di setiap angkatan pendidikan. Di tahun 2015 ini untuk pertama kalinya kunjungan tersebut melibatkan siswa-siswa STIK yang tersebar di seluruh Polda. Hal tersebut menunjukkan masih sangat terbukanya polisi memahami tentang HAM dan mencoba merefleksikan dengan kerja-kerja mereka maupun persoalan-persoalan aktual yang muncul. Adoniati Meyria.
Short link