Kabar Latuharhary

Stakeholder Dukung Perubahan PP No.99 Tahun 2012

Latuharhary – Para stakeholder menyatakan kesepakatannya agar Pemerintah Republik Indonesia segera merevisi Peratuan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, hal ini terungkap pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa (22/9/2015).  

FGD yang mengangkat tema “Menyikapi rencana pemerintah untuk revisi peratuan pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan”, dihadiri oleh perwakilan instansi terkait seperti Kemenkumham (Dirjen HAM dan PAS), BNN, Mabes Polri, dll. Turut hadir perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Elsam, ICJR, YLBHI, dll.

Dirjen HAM Kemenkumham, Dr. Mualimin Abdi SH MH, yang mengambil peran sebagai narasumber pada FGD tersebut menyatakan bahwa mengacu pada UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 28 C Ayat (2), remisi adalah hak warga binaan pemasyarakatan, maka pemberiannya wajib diberikan tanpa mempertimbangkan hal lain,  non diskriminasi dan tidak bertentangan dengan nilai keadilan. “Kendati demikian tetap diberikan berdasarkan syarat-syarat antara lain berkelakuan baik.” Urainya.

Keberadaan PP 99 Tahun 2012, lanjutnya, dinilai bertentangan dengan semangat reintegrasi yaitu warga binaan dapat kembali lagi ke masyarakat sebagai sosok yang bersih. Pembatasan remisi, yang ditujukan kepada para narapidana korupsi, narkotika dan terorisme, pada prinsipnya tidak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan dan menimbulkan diskriminasi di antara narapidana (bertentangan dengan asas persamaan perlakuan dan pelayanan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

“Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu”, tukasnya.

Narasumber lain, Dr. Yudi Junadi S.H., M.H., menyampaikan bahwa penegakan hukum dan kampanye HAM agar tidak hanya berwajah populis namun juga berperspektif kepastian hukum. “PP 99 Tahun 2012  tidak konsisten menjalankan ketentuan di atasnya al. UU 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UUD 1945 pasal 27 dan 28. Selain itu juga bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2012 tentang pembentukan UU serta bertentangan dengan azas pengayoman, kemanusiaan, dst,” katanya.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa PP 99/2012 menyebabkan kewenangan Lapas direduksi melalui intervensi dari lembaga-lembaga lainnya sehingga Kalapas nyaris tidak mempunyai wibawa karena tidak mempunyai kewenangan memberikan remisi mengingat remisi diberikan berdasarkan masukan/ rekomendasi dari instansi lain. “Kami beranggapan proses yudisial sudah selesai, maka hak mereka (remisi) tidak tepat apabila digantungkan dengan aparat penegakan hukum”.

Yudi menambahkan, pembatasan remisi ini semakin tidak tepat mengingat 60% penghuni Lapas khususnya di daerah adalah pihak-pihak yang mengalami kriminalisasi dan para pecandu narkoba yang sangat membutuhkan pembinaan agar segera pulih. “Saya sepakat andaikata hukuman koruptor diperberat asalkan berdasarkan vonis pengadilan. Setelah putusan pengadilan, sepenuhnya menjadi kewenangan Lapas, tanpa intervensi siapapun,” ujarnya.  

Sementara dari kalangan Non Governmental Organization yang pada kesempatan ini antara lain dihadiri oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan pendapat yang senada bahwa pada prinsipnya mereka tidak menolak pemberlakuan kebijakan remisi. Akan tetapi, masih menurut mereka, persoalan mendasar adalah pada revisi KUHP yang sesungguhnya telah memicu tindakan kriminalisasi yang cenderung berlebihan terhadap terduga pelaku pidana. “Permasyarakatan adalah tumpukan sampah karena menjadi penampung dari kriminalisasi yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa,” tukas Bahrain dari YLBHI.

Kendati demikian mereka sepakat bahwa pemberian remisi tetap melibatkan kontribusi aparat penegak hukum/ yudisial karena masuk dalam sistem penegakan hukum terpadu. “Dirjen Permasyarakatan harus setara dengan Polisi, Hakim dan Jaksa karena perannya yang strategis dalam restorative justice/ restorasi justice,” lanjut Bahrain.

FGD tidak menarik kesimpulan apapun, namun pendapat dari para pihak tersebut akan menjadi masukan yang berarti bagi Komnas HAM dalam merumuskan posisi Komnas HAM terkait isu ini. (Eva Nila Sari)
Short link