Kabar Latuharhary

Pembangunan Infrastruktur Berpotensi Munculkan Korupsi

Latuharhary – Pembangunan infrastruktur di Indonesia yang diperkirakan menelan APBN hingga kurang lebih Rp. 5000 triliun berpotensi menimbulkan korupsi terlebih mengingat hampir semua pilar bangsa ini berpotensi dan telah berkontribusi terhadap terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia.

Komnas HAM melalui Keputusan Sidang Paripurna Bulan Maret 2014, telah secara tegas menyatakan bahwa korupsi adalah pelanggaran HAM. “Ini sebuah pernyataan bahwa sebuah tindak pidana korupsi mempunyai dimensi HAM sebagai implikasinya. Terlebih, pada konteks Indonesia, tindak pidana korupsi dapat berakibat luas karena dilakukan hampir oleh semua pilar bangsa,” urai Komisioner Maneger Nasution, Pelapor Khusus Komnas HAM untuk isu Korupsi dan HAM pada FGD ‘Pemenuhan HAM dan Kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi dalam Pembangunan Infrastruktur’ di Gedung Komnas HAM pada Selasa, 13 Oktober 2015.

Sejauh ini, lanjut Maneger, Komnas HAM telah menerima 22 kasus pengaduan terkait isu korupsi pada pembangunan infrastruktur sepanjang tahun 2015, termasuk kasus pembangunan PLTU Batang di Jawa Tengah.  “Potensi korupsi pada pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah pada fase kegiatan pengadaan lahan,” ungkapnya lebih lanjut.

Perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas RI) yang turut hadir pada kesempatan itu menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan koordinasi dengan direktorat di bidang infrastruktur terutama dalam rangka mengkoordinasikan penyusunan aksi-aksi pemberantasan atau pencegahan korupsi serta mengawal pelaksanaan good government berupa transparansi dan akuntabilitas oleh kementerian terkait. “Agar masyarakat dapat ikut mengawasi kegiatan pembangunan,” katanya.

Sementara perwakilan Kejaksaan RI, menyampaikan bahwa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Widyo Pramono, telah memerintahkan kepada seluruh Kejati, Kejari dan Kasi Pidsus untuk berhati-hati dalam menangani kasus korupsi agar tidak bersinggungan dengan pelanggaran HAM.

Bahkan, lanjutnya, Kejaksaan RI telah membentuk Tim pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan. “Mereka bertugas melakukan pendampingan kepada kantor penegak hukum baik di pusat maupun daerah serta memberikan penerangan hukum dalam rangka menghindari pelanggaran-pelanggaran. Intinya agar tidak perlu ada ketakutan menggunakan anggaran negara,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pihak kejaksaan berharap agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diselidiki Komnas HAM dapat berujung pada penuntutan oleh pihak kejaksaan. “Termasuk kasus-kasus korupsi berdimensi HAM,”pungkasnya.

Pada kesempatan yang sama, perwakilan Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri), menyampaikan bahwa pada banyak kasus korupsi, sangat bersinggungan dengan tindakan kriminalisasi. “Selain tindakan pencegahan, perlu diperhatikan kapasitas dan integritas aparat penegak hukum karena mereka dapat menjadi pemicu terjadinya tindak pidana korupsi,” katanya.

Terkait isu yang tengah dibahas, lanjutnya, Komnas HAM seharusnya melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku lembaga pemerintah non kementeriaan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan berupa audit, konsultasi, asistensi, evaluasi dan pemberantasan KKN. “Dalam proses penanganan kasus korupsi, Bareskrim Polri selalu berkoordinasi dengan pihak BPKP dan kejaksaan,” urainya.

Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW) turut menyampaikan pendapatnya bahwa tindak pidana korupsi memang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun ICW, 905 kasus terkait korupsi terjadi di daerah dan terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Terkait terminologi korupsi baik yang terjadi di pusat maupun daerah, ICW membagi menjadi dua hal yaitu korupsi politik dan korupsi birokrasi (korupsi yang terjadi karena adanya perintah atasan dalam hierarki instansi).

Menyoal Tindak Kriminalisasi
Perwakilan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI (PUPR RI) menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah melakukan revisi terhadap sejumlah peraturan. “ Intinya agar kesalahan-kesalahan administrasi pada pelaksanaan proyek tidak lantas dikriminalisasi. Persoalan dalam kategori ini seharusnya dapat diselesaikan dalam ranah proyek. Ini hal penting bagi kami,” urainya.

Kendati demikian, mereka tidak memungkiri bahwa dalam sejumlah pelaksanaan proyek, kendala utama adalah terkait pembebasan lahan. Dalam rangka mengatasi persoalan ini, PUPR telah membentuk Tim Percepatan Pembebasan Tanah dengan dukungan dari pemerintah daerah. “Mengacu dari peraturan yang berlaku, pembebasan tanah adalah menjadi kewenangan pemerintah daerah, PUPR dalam kapasitas mendukung pembayaran ganti rugi kepada masyarakat,” lanjutnya.

Kementerian yang menjadi primadona pada alokasi APBN ini memiliki sejumlah agenda pembangunan infrastruktur al. pembangunan jalan nasional, sumber daya air, waduk, sanitasi, pembangunan rusun, penanganan untuk perbatasan, dll. Semua adalah proyek besar yang berpotensi menjadi sorotan masyarakat. Perlu diketahui bahwa pada TA  2015, PUPR telah mendapatkan alokasi anggaran Rp.116,837 triliun. Sementara TA 2016, kementerian ini mendapatkan alokasi sebesar Rp103,812 triliun.

Perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka meminta kepada Komnas HAM untuk memiliki rumusan detil yang bersifat regulatif terkait aktivitas yang dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran HAM. “Tujuannya untuk meminimalisir adanya anggapan pelanggaran HAM pada proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum,” tukasnya.

Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang dikelola oleh Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK, sepanjang tahun 2014, pengaduan yang diterima KPK mencapai 9.432 pengaduan. 4.587 pengaduan terindikasi tindak pidana korupsi sementara sebanyak 4.845 tidak memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi. Pengaduan tertinggi berasal dari DKI Jakarta sebanyak 1.157 pengaduan dan paling rendah berasal dari Sulawesi Barat sebanyak 17 pengaduan.

Sejumlah kasus terindikasi korupsi yang telah diadukan ke KPK dan mempunyai dimensi pelanggaran HAM adalah kasus-kasus terkait bantuan sosial kemasyarakatan (193 pengaduan), dana pendidikan (228 pengaduan), kegiatan pengadaan barang dan jasa (615 pengaduan) dan pelaksanaan proyek (771 pengaduan).

Terkait kasus-kasus yang diadukan tersebut, KPK menindaklanjutinya melalui dua mekanisme yaitu penindakan dan pencegahan. Sebanyak 455 pengaduan ditangani melalui mekanisme pencegahan dan 272 pengaduan telah diputuskan untuk dilakukan penindakan. 79 kasus telah diputuskan untuk ditangani secara langsung oleh pimpinan. “Kami juga telah meneruskan sejumlah pengaduan kepada pihak-pihak terkait di luar KPK seperti BPKP, Kejaksaan, dan terlapor lainnya sebanyak 2.431 pengaduan,” ungkapnya. (Eva Nila Sari)
Short link