Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Kontrak Karya PT Freeport Harus Cantumkan Klausul HAM

Latuharhary – Komnas HAM meminta adanya klausul HAM dan kepemilikan saham oleh masyarakat lokal Papua dalam hal ini Suku Amungme dan Suku Kamoro sebesar 30% pada materi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI), kata Komisioner Natalius Pigai pada bedah buku “Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik” karya Markus Haluk di Komnas HAM, Jumat (13/11/2015).

“Rekomendasi ini akan secara resmi kami sampaikan kepada Pemerintah RI karena aktivitas PT. Freeport Indonesia memanfaatkan lahan milik Papua khususnya suku lokal di sana, maka harus berimplikasi pada kesejahteraan mereka dan kelestarian lingkungan di sana,”tegas Natalius kepada undangan yang hadir termasuk para jusnalis yang meliput kegiatan tersebut.

Lebih lanjut, Natalius menambahkan bahwa terkait sejumlah kasus yang diadukan, Komnas HAM sudah lima kali memanggil pihak pimpinan PTFI. Menurutnya, Komnas HAM telah meminta PT Freeport Indonesia untuk mengambil langkah kongkret terkait renegosiasi.

“Tak dapat dinafikkan, kendati masalah terkait PT. Freeport adalah tergolong isu hak-hak ekosob, namun riak-riak yang muncul ke permukaan adalah menyinggung pemenuhan hak-hak sipol. Sejak perusahaan ini menjejakkan kaki di bumi Papua, kasus-kasus penembakan, pembunuhan dan penculikan kerap muncul ke permukaan,” urainya.

Gunawan, Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, menandaskan bahwa kasus-kasus HAM yang terjadi di Papua termasuk kasus-kasus HAM yang terjadi seputar keberadaan PTFI, terhenti di Komnas HAM.

Lebih lanjut Gunawan menyampaikan bahwa telah terjadi pengabaian hak masyarakat lokal khususnya Suku Amungme dan Suku Kamoro karena pada MoU tahun 2000 telah disebutkan adanya Dana Perwalian/ Trust Fund sebagai bentuk pengakuan masyarakat adat. “Hingga saat ini masyarakat adat tidak pernah dilibatkan. Seharusnya dana perwalian dipergunakan untuk membeli saham atas nama masyarakat dan telah disepakati sebagai kompensasi lahan masyarakat yang digunakan untuk aktivitas pertambangan. Akan tetapi dana ini justru diputar untuk kepentingan investasi PTFI,” paparnya.

Atas dasar itu, lanjut Gunawan, Kontrak Karya PTFI (KK PTFI) harus digugat. Gunawan menambahkan sesungguhnya terdapat celah hukum yang dapat dipersoalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta renegosiasi KK PTFI, baik terkait luas dan jangka waktu pertambangan, terkait royalti, terkait smelter dan terkait divestasi.

Terkait luas dan jangka waktu pertambangan. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Permohonan Uji Materi UU Penanaman Modal menyatakan tidak boleh terlalu luas dan terlalu lama karena berpotensi hilangnya kedaulatan negara. Termasuk di dalamnya adalah tidak diperkenankannya perpanjangan di muka sebagaimana kebiasaan KK PTFI selama ini (otomatis diperpanjang).

Terkait royalti, royalti emas PTFI sebesar 1% bertentangan dengan PP 45 Tahun 2003 dan PP 9 Tahun 2002 yang seharusnya minimal 3,75%. “Estimasi kerugian akibat lebih rendahnya royalti emas PT FI ini diperkirakan mencapai US $ 250 juta,”katanya.

Terkait smelter, apabila PTFI masih juga enggan membuatkan smelter, lanjut Gunawan, hal ini merupakan pelanggaran terhadap kontrak karya dan pelanggaran terhadap UU Minerba.

Terkait divestasi, dengan adanya mandat pasal 33 UUD 45 yaitu Hak Menguasai Negara guna melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka seharusnya pemerintah, Pemerintah kabupaten dan atau BUMN memiliki saham yang signifikan di PTFI.

Suku Amungme dan Suku Komoro sebagai pemilik tanah adat yang dipakai untuk kegiatan penambangan PTFI,  sebagai bentuk rekognisi sebagaimana diakui PTFI dalam MoU Tahun 2000 antara PTFI dengan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme) dan Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Suku Komoro), seharusnya dilibatkan dalam renegosiasi KK PTFI ini.

Pada kesempatan yang sama, Hans Magal selaku Tokoh Muda Amungme, menyampaikan bahwa apapun rencana perpanjangan KK PTFI, harus terjadi renegosiasi yang memperhatikan aspirasi masyarakat suku asli (Suku Amungme dan Suku Komoro).

Terkait upaya ini, lanjut Hans, membutuhkan kongres besar untuk merumuskan sikap orang Papua. “Yang punya uang dan tanah seharusnya lebih dahulu bicara,” tandasnya.

Renegosiasi kontrak pertambangan adalah tugas konstitusional negara agar keuangan negara bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan agar hak menguasai negara atas kekayaan alam dapat dialokasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Eva Nila Sari)
Short link