Persolaan TKI yang harus menggadaikan nyawa di negara asing kembali mencuat. Dunia tidak bergeming sedikit pun ketika Ruwiyati harus merenggang nyawa menghadapi eksekusi mati di Arab Saudi bahkan tanpa pembelaan yang memadai. Namun eksekusi mati dua warga Australia anggota kelompok pengedar narkoba 'Bali Nine' justru mendapatkan pembelaan yang optimal. Tidak tanggung-tanggung, Sekjen PBB Ban Ki Moon ikut turut tangan. Melalui juru bicaranya, Ki-moon mengaku telah menghubungi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan meminta Indonesia membatalkan pelaksanaan hukuman mati atas sejumlah terpidana kasus narkoba, termasuk dua warga Australia. Banyak pihak menyayangkan bentuk intervensi PBB ini terhadap kedaulatan negara Indonesia.
Sementara itu, keprihatinan akan nasib TKI terutama yang berstatus PRT telah begitu nyaring disuarakan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menolak kebijakan Presiden Joko Widodo yang berencana akan melakukan pembatasan pengiriman PRT ke Luar Negeri karena dinilai sebagai langkah mundur. Komnas Perempuan mencatat, 60 hingga 70 persen perempuan yang bekerja di luar negeri berprofesi sebagai PRT. Sedangkan di dalam negeri, sebanyak 11 Juta perempuan menjadi PRT. Menghentikan penempatan PRT ke luar negeri tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan dan kerentanaan PRT, sebaliknya mengangkat harkat dan martabat bangsa harus dimulai dari pengakuan dan perlindungan terhadap PRT, termasuk PRT di luar negeri.
Kalau kita lihat negara tetangga Filipina, pemerintah mereka sangat memperhatikan bagaimana warganya di luar negeri. Perlu diketahui, beberapa tahun yang lalu, Pemerintah Filipina mendesak Kuwait yang mempekerjakan warganya untuk menaikkan gajinya menjadi 120 KD (3,5 Juta). Pemerintah Kuwait menolaknya, dan kenyataannya, pembantu rumah tangga dari Filipina jumlahnya kian hari makin sedikit. Lebih banyak yang bekerja di restoran-restoran dan toko-toko. Ini juga dikarenakan kemampuan Bahasa Inggris mereka sudah sangat lancar walaupun hanya lulusan setingkat SMP. Kenapa para orang-orang Arab itu berani berlaku sewenang-wenang terhadap warganegara Indonesia, karena memang tidak ada efek jera. Pemerintah kita tak pernah berusaha untuk mengambil sikap jika ada warganya yang dianiaya di luar negeri.
Potret kasus ini sesungguhnya menegaskan bahwa yang dibutuhkan oleh para TKI ini adalah penghargaan dan perlindungan yang memadai dari Pemerintah Indonesia. Kebijakan menghentikan pengiriman TKI berprofesi PRT ke luar negeri adalah kebijakan yang cenderung reaktif, mengingkari eksistensi hak jutaan PRT yang menjadi tulang-punggung ekonomi jutaan keluarga di daerah asalnya, dan tidak menyentuh akar persoalan bahkan justru menimbulkan persoalan baru di antaranya marginalisasi perempuan yang berujung pada pemiskinan.
Banyak pihak telah mengamini bahwa perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap PRT terutama PRT di luar negeri tergolong sangat minim. Padahal begitu banyak PRT Indonesia di luar negeri yang tersangkut kasus hukum. Anggota Komnas HAM yang merupakan Pelapor Khusus Masalah Buruh Migran, Hafid Abbas, menyampaikan bahwa saat ini terdapat 1,2 juta TKI yang bermasalah dengan persoalan keimigrasian, 92.000 TKI yang tersangkut persoalan hukum dan 278 di antaranya terlibat vonis mati. Kendati demikian, angka ini bisa jadi perlu dikoreksi lebih lanjut mengingat begitu banyaknya TKI yang paperless alias TKI yang bekerja tanpa surat-surat pendukung yang seharusnya.
Secara umum gambaran kondisi TKI yang banyak diadukan adalah penyiksaan, perkosaan, terancam dirazia, ditangkap, deportasi, perbudakan, terancam hukuman mati, hak dasar yang tidak dipenuhi (gaji tidak tepat waktu, pekerjaan yang overload, kerja tanpa batas waktu yang jelas hingga tidak ada hak cuti), masalah overstay (kelebihan waktu tinggal) di negara tempat bekerja, dan keinginan TKI untuk kembali ke tanah air.
Beberapa waktu yang yang lalu Komnas HAM telah merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk dapat memberikan perlindungan lebih baik kepada para TKI terlebih mengingat kontribusi mereka terhadap negara ini. Mereka telah memberikan kontribusi devisa kedua tertinggi setelah Migas yang mencapai Rp 100 triliun setahun. Kendati demikian rekomendasi Komnas HAM ini belum mendapatkan respon yang berarti dari Pemerintahan Jokowi-JK.
Terkait peliknya persoalan TKI tersebut, maka pada 2 April 2015 lalu di ruang pleno utama lantai 3 gedung Komnas HAM, telah diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan Pelapor Khusus Komnas HAM untuk isu Buruh Migran Prof. Dr. Hafid Abbas. Turut hadir pula perwakilan sejumlah Kementerian/ Lembaga (Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia/ BNP2TKI), Komnas Perempuan, Perwakilan civil society, perwakilan PJTKI, dan para jurnalis.
Prof. Dr, Hafid Abbas pada kesempatan itu menyampaikan bahwa Komnas HAM saat ini tengah menyusun laporan terkait isu buruh migran (TKI) untuk disampaikan kepada Pemerintah RI sebagai rekomendasi Komnas HAM. Oleh karena itu, maka pihaknya meminta masukan dan konfirmasi data dari para pihak terkait terutama mengenai data statistik TKI yang bermasalah di luar negeri terlebih yang terancam hukuman mati dan mengenai kebijakan Pemerintahan Jokowi yang akan menghentikan secara bertahap (hingga 2017) pengiriman TKI untuk sektor informal khususnya profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Terkait kedua isu tersebut, perwakilan civil society yang hadir bersepakat untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut karena dinilai tidak akan menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi para TKI. Para LSM juga sangat menyesalkan penilaian Pemerintah RI yang mengkategorikan TKI sebagai unskill workers karena pekerjaan tersebut sesungguhnya sangat membutuhkan skill.
Kalangan civil society sesungguhnya sangat kecewa dengan Pemerintahan Jokowi yang hingga saat ini belum secara nyata mengakomodasi persoalan HAM dalam kebijakan yang dihasilkan. Mereka sangat berharap agar pemerinta meningkatkan perlindungan terhadap para buruh migran khususnya PRT di dalam negeri. Oleh karena itu Pemerintah diharapkan segera melakukan pembenahan birokrasi, ratifikasi ILO 189 dan pembenahan perangkat peraturan terkait dalam rangka meningkatkan perlindungan PRT khususnya di dalam negeri.
Sementara itu Komnas Perempuan (Komper) mempunyai pendapat yang khusus mengenai hukuman mati. Berdasarkan diskusi yang mereka laksanakan beberapa waktu yang lalu, disimpulkan bahwa qisas (pembalasan yang setimpal-hutang nyawa dibayar nyawa) dapat dimaknai mati dengan cara apapun dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga tidak harus dimaknai mati saat ini juga. Penetapan hukuman penjara di luar batas usia seseorang juga dapat dikategorikan sebagai qisas.
Selain itu Komper juga berpandangan bahwa kebijakan Pemerintahan Jokowi belum dapat menjawab persoalan dan kebutuhan buruh migran. Termasuk kebijakan menghentikan secara bertahap (hingga 2017) pengiriman TKI untuk sektor informal. Menurut Komper, seharusnya Menakertrans menginformasikan seluas-luasnya terkait kebijakan Road Map Zero Domestic Workers yang telah menimbulkan kegelisahan para TKI di luar negeri.
Menanggapi kekisruhan ini, Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mengaku mengalami kesulitan untuk mendorong pembahasan RUU PRT di DPR RI. Beberapa kali pembahasan harus ditunda karena tidak adanya komitmen yang bulat dari para anggota dewan. Padahal RUU ini dinilai sangat penting untuk meningkatkan perlindungan terhadap para Pekerja Rumah Tangga (PRT) khususnya di dalam negeri.
Sementara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memberikan catatan penting bahwa saat ini di luar negeri justru sangat marak TKI ilegal akibat kebijakan moritarium TKI. Mereka (TKI) ‘bergeser’ melalui bandara-bandara internasional (Indonesia, Malaysia, Timur Tengah). Akibatnya, banyak permasalahan yang mereka timbulkan di negara-negara penempatan.
BNP2TKI mengaku mengalami kesulitan dalam melaksanakan peran pencegahan sehingga mereka memprediksikan pada tahun 2015 jumlah TKI ilegal akan semakin marak. Kasus yang kerap kali terjadi adalah TKI yang berpindah-pindah majikan kendati pemberangkatan sudah sesuai.
Setelah mendapatkan cukup banyak masukan dari berbagai pihak, Pelapor Khusus Isu Buruh Migran Hafid Abbas, menutup FGD dengan sejumlah poin penting yaitu pihaknya melalui laporan yang akan disusun nanti akan memberikan alternatif kebijakan/ pilihan politik kepada Pemerintah terkait persoalan penghentian pengiriman TKI. Lanjutnya, ia akan menyampaikan dalam laporannya, apabila kebijakan tesebut diteruskan atau dihentikan dengan berbagai rasionalisasinya termasuk implikasi dari masing-masing pilihan kebijakan.
Terlepas dari itu, Hafid menambahkan, dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap TKI, indonesia harus berpikir lebih serius dalam menempatkan putra bangsa di posisi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans). Kemampuan diplomasi dari Menakertrans harus dioptimalkan agar negara penempatan lebih serius menanggapi tuntutan RI.
Hal-hal penting lain yang menjadi catatan adalah terkait persoalan koordinasi antara 24 lembaga terkait pengelolaan buruh migran agar lebih terkoordinir dengan baik, termasuk pernyataan masing-masing lembaga agar tidak saling berseberangan. Pemerintah Daerah agar dilibatkan dan dibangun komunikasi yang lebih baik sehingga turut berkontribusi dalam mendorong penyelesaian dan harmonisasi persoalan legislasi (baik di tingkat daerah, nasional, regional maupun internasional)
Sesungguhnya Undang‑Undang Dasar 1945 telah mengatur tentang perlindungan pekerja khususnya ketentuan Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Oleh karena itu sangatlah jelas bahwa kekerasan yang dialami oleh para TKI merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Bekerja menjadi TKI, pada banyak kasus, sesungguhnya bukan merupakan pilihan. Fenomena ini sesungguhnya terjadi akibat desakan ekonomi dan keterbatasan kondisi (minimnya pendidikan dan keahlian) serta sulitnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman dan bahkan negara sendiri. Para pejuang keluarga ini telah mempunyai niat baik memperbaiki nasib dengan mencari peruntungan di negeri orang. (Eva)
Short link