Kabar Latuharhary

Tim 13 Bentukan Komnas HAM Pantau Penanganan Terorisme oleh Pemerintah

Latuharhary – Tim Evaluasi Penanganan Terorisme akan melakukan pemantauan langsung terkait kasus-kasus terorisme yang terjadi lapangan. “Ini tim bentukan Sidang Paripurna Komnas HAM dan ada kekuatan pluralisme dalam tim ini,” papar Hafid Abbas, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM yang juga menjadi bagian dari tim ini dalam jumpa pers mengenai Pandangan Tim Terkait Peledakan Bom di Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016 di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Jumat (15/07/2016).

Tim Evaluasi Penanganan Terorisme terdiri sejumlah tokoh nasional dari bernagai latar belakang yaitu M. Busyro Muqoddas, Bambang Widodo Umar, KH Salahuddin Wahid, Trisno Raharjo, Ray Rangkuti, Dahnil Anzar Simanjuntak, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Manager Nasution, Franz Magnis Suzeno, Magdalena Sitorus, dan Todung Mulya Lubis.

“Tim 13 merupakan representasi unsur-unsur kekuatan masyarakat sipil yang hingga saat ini masih otentik. Kami telah secara intensif melakukan diskusi yang difasilitasi oleh Komnas HAM sebagai lembaga negara. Kami akan bekerja selama 3 (tiga) bulan ke depan guna mengevaluasi kinerja Pemerintah dalam hal ini Densus 88 dan BNPT dengan mengedepankan prinsip-prinsip penegakan hukum, HAM, kejujuran, dan transparansi proses-proses penanganan karena penegakan hukum tanpa prinsip-prinsip ini adalah penegakan hukum yang sarat manipulasi,” papar M. Busyro Muqoddas mantan Ketua KPK yang juga salah seorang pimpinan di DPP Muhammadiyah.

Lebih lanjut Busyro menyampaikan bahwa tim telah sepakat agar bangsa ini tidak lagi terus menerus mereproduksi terorisme karena kondisi ini telah berlangsung sejak 2002-2003. “Kami menilai ada sisi-sisi yang tidak transparan dalam penanganan terorisme oleh BNPT dan Densus 88. Sejauh ini data korban dari penanganan ‘yang tidak tepat’ mencapai 123 jiwa. Namun kami meyakini data sesungguhnya jauh lebih besar. Brutalitas Densus merupakan contoh yang konyol kepada masyarakat Indonesia,” tegasnya di depan puluhan jurnalis.

Hasil kerja tim ini, lanjut Busyro, akan dipersembahkan kepada Presiden Joko Widodo sebagai orang yang secara struktural paling bertanggungjawab. “Kami juga akan menyampaikannya kepada publik terutama agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas berdasarkan fakta dan analisis yang ilmiah,” tukasnya.

Pendapat serupa disampaikan oleh Dahnil Anzar Simanjuntak. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ini menegaskan bahwa usaha pemberantasan terorisme selama ini sarat propaganda negatif, mengedepankan stigmatisasi dan tidak mengedepankan prinsip-prinsip penegakan hukum dan HAM. “Sangat miskin akuntabilitas dan mengandung potensi rente di balik isu-isu terorisme yang dimunculkan di ruang publik,” ungkapnya.

Franz Magnis Suzeno pada kesempatan yang sama menyatakan kesepakatannya bahwa terorisme harus diberantas. “Akan tetapi penting untuk diperhatikan bahwa teroris juga manusia yang harus diperlakukan sesuai hak asasinya dan konsep hukum yang berlaku,” katanya.

Mantan Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyampaikan apresiasinya atas upaya Komnas HAM membentuk Tim 13. “Momentumnya tepat karena sudah banyak korban yang jatuh. Kami menunggu respon yang sama dari Ombudsman dan Kompolnas,” katanya.

Haris menyoroti pernyataan Kapolri baru, Tito Karnavian, yang akan meningkatkan intensitas penanggulangan terorisme. “Ini seharusnya bukan soal hasil, tapi kita harus cerdas dalam proses melalui penghormatan atas HAM yang memiliki akar konstitutif pada UUD 1945 dan aturan hukum lain. Profesionalisme Polri harus diterjemahkan sebagai keberanian untuk mengevaluasi kesalahan yang telah dilakukan oleh lembaga tersebut pada waktu yang lampau. HAM dan prinsip penegakan hukum harus dikedepankan,” paparnya.

Lebih lanjut Haris menambahkan bahwa Tim 13 adalah aset bangsa dan ditujukan untuk memperbaiki institusi Kepolisian.

Baik Harus maupun Busyro sumber anggaran dari institusi pemberantasan teroris di Indonesia. “Apakah dana murni APBN ataukah ada kontribusi dari pihak asing, akan menjadi bahan pemeriksaan Tim 13. Harus ada transpararansi,” tegasnya.

Pandangan Tim Atas Peledakan di Mapolresta Solo

Ketenangan di negeri ini (kembali) terusik ketika di penghujung Ramadhan 1437 H lalu, tepatnya 5 Juli 2016, sebuah bom meledak di Mapolresta Solo. Bom itu berasal dari seorang tamu tak dikenal yang masuk ke kantor Polresta Solo menggunakan sepeda  motor. Seorang provost yang berjaga di pintu depan kantor Mapolresta Solo mengalami luka akibat serpihan bom. Sementara pelaku yang belakangan diketahui bernama Nur Rohman, tewas di tempat dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Beberapa saat setelah kejadian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Tito Karnavian menyebut bahwa Nur Rohman, sudah menjadi buronan sejak Desember 2000. Tak hanya itu, yang bersangkutan juga dinyatakan terkait dengan jaringan ISIS.

Atas kejadian tersebut, Tim Evaluasi Penanganan Terorisme memberikan sejumlah catatan. Pertama, amanat Undang-undang HAM No.39/1999 dan sejumlah undang-undang terkait lainnya, serta panduan penanganan terorisme yang dipublikasikan oleh Dewan HAM PBB (Fact Sheet No.32), menekankan bahwa penanganan terorisme harus mejunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Kendatipun seseorang telah diduga teroris, namun ia tetap harus: (1) diperlakukan sebagai manusia dengan menghargai segala kehormatan dan martabatnya, (2) diberi kesempatan untuk membela diri dan didampingi pengacara, (3) terbebas dari intimidasi, retaliasi dan kekerasan dalam bentuk apapun, (4) kerahasiaan pribadinya terlindungi, (5) mendapat perawatan, bantuan psikologis dan sosial jika diperlukan, dst. Bahkan dalam situasi darurat  (emergency) penanganan terorisme  hendaklah dilakukan dengan memperhatikan asas proporsionalitas, dan seluruh penanganannya dipantau dan diaudit oleh satu lembaga yang independen.

Kedua, di berbagai media telihat inkonsistensi penjelasan Kepala BNPT Tito Karnavian yang menyatakan bahwa jaringan teror bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta tidak ada hubungannya dengan serangan bom Thamrin pada Januari lalu (http://m.cnnindonesia.com/ nasional/20160706171328-12-143348/tito-tegaskan-bom-solo/). Akan tetapi sehari sebelumnya di berbagai media lain muncul ulasan mengenai keterkaitannya dengan bom Thamrin karena Tito mengemukakan bahwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo memiliki kaitan dengan peristiwa penyerangan dan bom di Thamrin. Dua aksi itu dilakukan oleh dua jaringan yang terkait (http://m.detik.com/news/berita/3248594/penjelasan-tito).

Ketiga, jika sosok Nur Rohman, pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo itu sudah diidentifikasi sebagai buronan aparat sejak 2000, dan kemudian teridentifikasi pula kaitannya dengan jaringan ISIS, berarti yang bersangkutan baru berusia 14 tahun, dengan kelahirannya 1 November 1985. Apabila Nur Rohman masuk sekolah usia 7 tahun berarti ia sudah menjadi teroris ketika duduk di kelas 6 SD atau kelas 1 SMP dan ia dengan mudah dapat ditangkap dengan mendatangi sekolahnya. Perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013.

Perlu disampaikan dalam psikologi perkembangan diketahui bahwa kemampuan anak untuk menghubungan satu atau dua fenomena dengan fenomena lain baru mulai terbentuk di usia kelas 3 SD, misalnya kaitan awan dengan hujan, perjuangan Hatta dengan kemerdekaan, dsb. Sementara pada berbagai literatur ilmiah diketahui bahwa anak usia 14 tahun sudah memiliki kemampuan berpikir, bernalar, dan berargumentasi dengan lebih berfokus pada diri sendiri dan situasi kekinian yang dialaminya. Akan tetapi gelora untuk berkorban pada idealismenya belum terbentuk pada usia ini. Semangat seperti itu biasanya mulai muncul pada jenjang pendidikan tinggi.

Demikian pula secara sosiologis, sebagai penjual bakso keliling dengan tingkat pendidikan dan pergaulan yang amat terbatas, Nur Rohman tiba-tiba menjadi bagian dari jaringan ISIS di tanah air. Kondisi ini perlu didalami lebih lanjut apakah orang-orang seperti ini menjadi target prioritas ISIS dalam meluaskan jaringannya di Indonesia.

“Masyarakat perlu tahu apakah beliau memang benar-benar teroris sejak tahun 2000 karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat sangat kontraproduktif dengan asas penegakan hukum dan HAM serta bertolak belakang dengan asas demokrasi. Kita harus mendorong agar upaya penanganan terorisme menjadi terang benerang,” papar Hafid Abbas.

Senada dengan pendapat Hafid, Busyro Muqoddas beranggapan bahwa penanganan terorisme selama ini masih mengandung sejumlah hal yang dinilai kurang transparan (baca : oleh BNPT dan Densus 88). “Terlalu banyak korban yang sudah jatuh. Saya perkirakan angka yang sebenarnya (baca: belum terungkap)  jauh lebih besar,” tukasnya.

Oleh karenanya, klarifikasi dari pihak terkait atas berbagai inkonsistensi atas status Nur Rohman sebagai buronan di usia kelas 6 SD atau kelas 1 SMP diperlukan agar masyarakat memperoleh informasi yang akurat dalam setiap langkah penanganan terorisme di Indonesia. Inkonsistensi lain terkait dengan penjelasan keterlibatan Nur Rohman  pada kasus Thamrin yang berubah-ubah sangat cepat. Demikian pula kaitan antara latar belakangnya sebagai penjual bakso dan target prioritas ISIS dalam memperluas jaringan di Indonesia.

Konsistensi dan akurasi informasi amat diperlukan masyarakat luas agar penanganan kasus terorisme tetap menghormati due process of law dan terbebas dari kesan penanganan yang menghalalkan segala cara, dan juga terbebas dari kesan pencarian dan pemanfaatan momentum untuk mempercepat revisi Undang-undang Terorisme. (Eva Nila Sari)
Short link