Kabar Latuharhary

Rekomendasi Pemantauan Rusuh Tanjung Balai

Pada 4-5 Agustus 2016, Komnas HAM RI melakukan pemantauan dugaan pelanggaran HAM dan pengawasan atas dugaan diskriminasi ras/etnis dalam peristiwa penyerangan dan pembakaran terhadap sekitar 15 (lima belas) rumah ibadah Vihara di Kota Tanjung Balai Provinsi Sumatera Utara.

Kegiatan tersebut adalah mandat  dari Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan mandat pengawasan terhadap diskriminasi ras dan etnis sesuai Pasal 8 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pada 29 Juli 2016, kerusuhan pecah di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang diduga akibat provokasi yang dilakukan oleh oknum tertentu melalui media sosial. Emosi massa yang sudah tidak terbendung lagi akhirnya memicu massa melakukan pembakaran sejumlah tempat ibadah di sekitar lokasi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, peristiwa berawal dari seorang warga Jalan Karya Kel TB, Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai yang menegur pengurus rumah ibadah untuk mengecilkan suara mikrofon.  Malamnya, pengurus rumah ibadah itu menemui warga yang protes. Namun tanpa disangka, suasana memanas dan polisi terpaksa mengamankan pasangan pasangan suami istri itu ke Mapolsek Tanjung Balai Selatan, demi keamanan.

Dalam kegiatan selama dua hari tersebut, Komnas HAM yang dipimpin oleh Komisioner Natalius Pigai melakukan serangkaian aktivitas yaitu mewawancarai aparat kepolisian, masyarakat, pemerintah daerah, serta melakukan observasi di lokasi kejadian perkara.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan di bidang hak asasi manusia, yaitu diantaranya hak atas rasa aman (Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM), hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, diskriminasi ras dan etnis (Pasal 2, 3, dan 4 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis), dan hak atas kepemilikan (Pasal 36 UU No. 39 Tahun 1999).

Oleh karena itu, Komnas HAM menyampaikan rekomendasi sebagai berikut :
  1. Meminta proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara Cq Kepolisian Resor Tanjung Balai tetap dilanjutkan dengan mempertimbangkan dan memperhatikan serta menghormati hak asasi manusia yang melekat pada para tersangka;
  2. Meminta Pemerintah Pusat. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Kota Tanjung Balai untuk mencari tahu dan memutus rantai komunikasi yang berorientasi pada kebencian ras, etnis, dan Agama;
  3. Meminta Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Kota Tanjung Balai melakukan reintegrasi sosial antar etnis dan antar Agama pasca peristiwa perusakan dan pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai. Hal ini penting mengingat peristiwa yang berorientasi pada kebencian etnis dan Agama di Tanjung Balai bukan yang pertama kali terjadi, sebelumnya pernah terjadi pada kurun waktu Tahun 1979, 1989, 1998, dan terakhir 2016. Proses reintegrasi sosial harus dipimpin oleh Pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh Agama di Tanjung Balai;
  4. Meminta Pemerintah Cq Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi tentang penggunaan pengeras suara di Mesjid sesuai dengan instruksi Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI No. KEP/D/101/1978 Tanggal 17 Juli tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Mesjid, Langgar, dan Mushala;
  5. Meminta Pemerintah baik itu Pemerintah Pusat maupun daerah termasuk Kepolisian untuk memastikan jaminan rasa aman, nyaman serta memastikan tidak terulangnya kembali peristiwa yang sama di masa yang akan datang;
  6. Meminta Kapolri melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap jajaran Kepolisian Daerah Sumatera dan Kepolisian Resor Tanjung Balai yang dinilai lamban dalam mengantisipasi munculnya kerusuhan SARA di Tanjung Balai.

Short link