Kabar Latuharhary

Kedaulatan Pangan, Kunci Terpenuhinya Hak atas Pangan

Pada 9-18 April 2018, Pelapor Khusus untuk Hak atas Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Hilal Elver, akan mengunjungi Indonesia. Dalam kaitan itu, Komnas HAM tengah menyusun laporan terkait dengan status dan kondisi hak atas pangan di Indonesia.

Sebagai bagian dari penyusunan laporan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelenggarakan Diskusi Terbatas mengenai pemenuhan hak atas pangan di Indonesia pada Jum’at, 16 Maret 2018. Bertindak sebagai narasumber, Asep Mulyana, Peneliti Muda Komnas HAM, yang memaparkan hasil kajian hak atas pangan dan Ahmad Arif, Jurnalis Kompas, yang mendalami isu hak atas pangan di Indonesia. 


Diskusi dihadiri oleh Sandrayati Moniaga dan Hairansyah, selaku Wakil Ketua Eksternal dan Internal Komnas HAM. Anggota Komnas HAM yang turut hadir adalah Beka Ulung Hapsara, Amirudin, dan Mochammad Choirul Anam. Diskusi juga dihadiri oleh staf peneliti dan penyuluh Komnas HAM.


Asep Mulyana memaparkan poin-poin mengenai kebijakan pangan dan pertanian di Indonesia, situasi pemenuhan hak atas pangan, pemenuhan hak atas pangan untuk kelompok rentan, perdagangan bebas dan liberalisasi pertanian, serta ekspansi perusahaan dalam wilayah kelola masyarakat. “Laporan yang saya susun ini masih bersifat sementara, bisa diberikan masukan untuk penyempurnaan lebih lanjut,” kata Asep.


Untuk melengkapi laporan yang disusun Asep tersebut, Ahmad Arif memaparkan tentang pola konsumsi dan produksi pangan di Indonesia, politik pangan global dan nasional, serta kebijakan pangan di Indonesia sejak Indonesia merdeka hingga Pemerintahan Jokowi.


Menurut Arif, ada dua persoalan kebijakan, apakah yang dipilih adalah ketahanan pangan ataukah kedaulatan pangan. “Jika bicara tentang ketahanan pangan, maka yang dibutuhkan adalah ketersediaan pangan, diantaranya dipasok melalui impor. Akan tetapi, jika yang dipilih adalah kedaulatan pangan, maka yang dilakukan adalah melakukan upaya mandiri untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri tanpa bergantung dari pihak luar,” ujar Arif.


Jika bicara tentang kedaulatan pangan, ujar Arif, maka lahan harus tersedia secara mencukupi untuk menjamin kesejahteraan petani. Namun faktanya, sebagaimana ditunjukkan Arif, terjadi konversi lahan yang masif di Pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional. Selama 2003-2013, konversi kepemilikan lahan mencapai 500 ribu hektar lebih. Akibatnya, jumlah petani gurem meningkat sebesar 77 persen. “Hal ini berpotensi menurunkan produksi beras sebesar 3,2 juta ton,” tegas Arif.


Parahnya, kata Arif, Indonesia tidak hanya sebatas impor beras, namun juga gandum. Bahkan, Indonesia termasuk pengimpor gandum terbesar di dunia. Hal ini hanya menguntungkan segelintir perusahaan multinasional saja yang menguasai produksi dan distribusi gandum dunia. “Ketergantungan pada gandum yang sangat tinggi ini tidak hanya mengubah pola pikir orang atas pangan, namun juga menghancurkan kedaulatan pangan dan keberagaman pangan yang ada di Indonesia,” tegas Arif. Ia mencontohkan kasus gizi buruk di Asmat Papua, yang banyak memperoleh bantuan berupa bahan pangan berbasis gandum seperti mie instan. 


Selain itu, ketergantungan petani atas pestisida juga sangat tinggi. Hal ini dimulai sejak terjadinya revolusi hijau sejak 1960-an. Fakta menunjukkan bahwa impor pestisida – yang dikuasai oleh 10 perusahaan multinasional – semakin meningkat dari tahun ke tahun. “Padahal, pestisida adalah racun, bukan obat,” kata Arif. Dalam sebulan, petani bisa memakai pestisida sebanyak 18 kali, padahal pestisida adalah komponen biaya tertinggi dari proses produksi pangan.


Diskusi mengerucut pada persoalan pemenuhan hak atas pangan ternyata tidak hanya terkait dengan persoalan ketersediaan dan aksesibilitas pangan saja, namun jauh lebih luas dari pada itu, yakni menyangkut dan beririsan dengan persoalan agraria, bisnis pangan, kelompok rentan, gizi dan keamanan pangan, hingga liberalisasi pertanian dan politik penyeragaman pola produksi dan konsumsi pangan. “Penyeragaman pangan terindikasi sebagai bentuk dari pelanggaran hak atas pangan,” kata Arif.


Hasil diskusi dan kajian yang dilakukan Komnas HAM ini akan menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan disampaikan kepada Pelapor Khusus (Special Rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Atas Pangan.


Harapannya, ujar Choirul Anam, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapatkan masukan yang komprehensif dari Komnas HAM mengenai pelaksanan pemenuhan hak atas pangan di Indonesia. “Setelah ini akan dilaksanakan lagi konsultasi publik untuk menyempurnakan laporan yang akan disampaikan oleh Komnas HAM ke Pelapor Khusus,” ujar Anam.


Hal ini sesuai dengan salah satu tugas dan wewenang Komnas HAM yang diamanatkan Pasal 89 Ayat 3(a) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu melakukan pengamatan pelaksanaan HAM dan menyusun laporan hasil pengamatan tersebut, dalam hal ini Komnas HAM melakukan pengamatan pelaksanan pemenuhan hak atas pangan di Indonesia. (Felani/MDH)
Short link