Kabar Latuharhary

Tujuh Rekomendasi Pelapor Khusus Hak atas Pangan

Pelapor Khusus untuk Hak atas Pangan, Hilal Elver, telah menyelesaikan misinya pada 18 April 2018. Atas undangan dari Pemerintah RI, ia diutus oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa  untuk menilai bagaimana rakyat Indonesia menikmati hak atas pangan, termasuk rekomendasi untuk praktik-praktik yang baik dan tantangan yang dihadapi saat ini. 


Selama kunjungan 10 hari, ia bertemu dengan berbagai pihak yang relevan, termasuk perwakilan dari beberapa kementerian dan lembaga pemerintah di Jakarta. Di tingkat provinsi, ia mengunjungi pemerintah daerah dan masyarakat sipil di Palembang, Yogyakarta, serta Ambon.

Ia memuji Indonesia yang telah meratifikasi beberapa perjanjian hak asasi manusia dasar termasuk Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang menetapkan kewajiban negara-negara dalam Pasal 11 untuk mewujudkan hak atas pangan.

“Sebagai pihak dalam ICESCR, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mewujudkan hak atas pangan bagi semua orang Indonesia, selain berbagai kewajiban hak asasi manusia lainnya,” ujar Hilal.


Ia juga menemukan bahwa Indonesia memiliki beberapa undang-undang dan kebijakan tentang hak atas pangan - secara eksplisit dan implisit. “Konstitusi Indonesia secara implisit mengakui hak atas pangan dan gizi - dalam konteks penegasan hak atas kehidupan dan penghidupan, kehidupan yang bermartabat, lingkungan yang sehat, jaminan sosial dan pekerjaan,” kata Hilal.


Ketersediaan


Dari sisi ketersediaan yang mengacu pada kemungkinan-kemungkinan baik untuk memberi makan sendiri atau memiliki sistem distribusi, pemrosesan dan pasar yang berfungsi dengan baik dan komprehensif untuk menanggapi tuntutan dari orang-orang yang memiliki situasi yang berbeda serta bagi orang yang membutuhkan. Aspek ini mencakup bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas makanan, yang berhubungan dengan masalah gizi dan menghormati pola makan tradisional. 


“Indonesia berprestasi baik dalam hal peningkatan produksi, terutama makanan pokok seperti beras dan jagung, dengan mengikuti pertumbuhan populasi serta meningkatnya permintaan akibat meningkatnya standar hidup,” ujar Hilal.


Namun, kata Hilal, kebijakan dan program pangan Pemerintah harus dikembangkan dan diimplementasikan dengan cara yang memperhitungkan kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah dengan ekspektasi konsumsi yang meningkat.


Kebijakan yang dikembangkan untuk mengurangi kerawanan pangan tampaknya terlalu terfokus pada beras seperti di Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Merauke Integrated Food and Energy Estate/MIFEE). “


Menurut Hilal, mengingat bahwa tidak semua penduduk ingin menjadikan beras sebagai makanan utama mereka, kebijakan Pemerintah dalam produksi makanan pokok harus lebih menyadari bahwa ada beragam kebutuhan dan preferensi masyarakat dengan berbagai tradisi makanan. 


Aksesibilitas

Agar hak atas pangan dapat dipenuhi, dibutuhkan akses fisik dan ekonomi. Aksesibilitas fisik berarti bahwa makanan harus dapat diakses oleh semua orang, termasuk anak-anak, orang tua atau orang cacat, serta orang-orang yang tinggal di tempat terpencil.


Akses ekonomi berarti bahwa makanan harus terjangkau tanpa mengorbankan kebutuhan dasar lainnya seperti biaya pendidikan, layanan medis, atau perumahan. Namun, harga makanan terus meningkat sehingga banyak orang Indonesia tidak selalu dapat menikmati makanan bergizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi minimum. Ini terutama berlaku untuk kaum miskin di perkotaan, nelayan tradisional, masyarakat adat, dan petani subsisten.


“Menurut Program Pangan Dunia, sepertiga penduduk di Indonesia tidak mampu membeli makanan seimbang yang memenuhi kebutuhan gizi minimum. Harga pangan yang tinggi merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap gizi buruk di Indonesia,” jelas Hilal.


Rekomendasi awal


“Saya ingin membuat beberapa rekomendasi awal kepada Pemerintah Indonesia berdasarkan kunjungan 10 ini,” ujar Hilal.


Pertama, Pemerintah Indonesia harus meningkatkan tingkat koordinasi di antara kementerian terkait yang menangani masalah pangan.


Kedua, Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk mengurangi gizi buruk. Pemerintah juga harus memberantas akar penyebab kelaparan dan kekurangan gizi seperti kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya layanan kesejahteraan sosial. 

Ketiga, kebijakan pangan harus didiversifikasi. Kebijakan pangan yang berfokus pada swasembada beras saat ini tidak akan memberikan solusi jangka panjang bagi ketahanan pangan dan gizi serta praktik pertanian berkelanjutan.  


Keempat, Pemerintah Indonesia harus melakukan upaya lebih lanjut dalam mengimplementasikan berbagai undang-undang terkait hak atas pangan.


Kelima, Pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan yang lebih baik bagi petani dan nelayan dengan memberikan mereka penguasaan lahan pertanian dan perikanan yang stabil serta layanan sosial. Perhatian khusus harus diberikan kepada perempuan yang terlibat dalam pertanian dan perikanan serta memastikan bahwa mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengakses sumber daya.


Keenam, Pemerintah Indonesia harus menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan penguasaan tanah. Pemerintah harus mempercepat pelaksanaan distribusi lahan kepada petani dan menyelesaikan semua konflik terkait lahan. Pemerintah seharusnya tidak mengkriminalisasi petani, anggota masyarakat, aktivis yang memperjuangkan masalah lahan tetapi memberi mereka konsultasi dan mediasi.


Ketujuh, Pemerintah Indonesia harus memastikan kegiatan bisnis terutama perkebunan besar, kelapa sawit dan kegiatan penambangan sejalan dengan hukum dan prinsip hak asasi manusia internasional. Bisnis juga harus memastikan bahwa praktik-praktik kerja mereka menghormati hak asasi manusia sesuai dengan tanggung jawab mereka yang terkandung dalam Prinsip Panduan PBB tentang bisnis dan hak asasi manusia.

Hilal menyampaikan bahwa ia akan menyampaikan analisis hak asasi manusia yang terperinci tentang situasi pangan di Indonesia dan membuat rekomendasi konkret kepada Pemerintah dan pemangku kepentingan melalui sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang dilaksanakan pada Maret 2019.
(MDH)
Short link