Kabar Latuharhary

Komnas HAM Gagas Pembentukan Standar Setting Norma Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi

Latuharhary, Rezim pengaturan organisasi kemasyarakatan di Indonesia semakin ketat sejak diberlakukan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2017. Perubahan regulasi yang baru bukan memberikan keleluasaan dan kelenturan, justru semakin mempertajam tingkat represi negara terhadap kehidupan sipil. Situasi inilah yang salah satunya melatarbelakangi Komnas HAM RI berupaya menafsirkan dan memberikan batasan melalui norma-norma yang berkaitan dengan kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Kondisi ini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan patut untuk diprioritaskan.

Untuk mendapatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, Komnas HAM  melalui  Bagian Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, pada Selasa, 09 April 2019 melaksanakan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) untuk membahas penyusunan Standar Norma dan Setting  Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi.

Komnas HAM menegaskan bahwa standar norma dan setting Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi kelak dapat dijadikan panduan bukan hanya bagi praktek-praktek berkumpul dan berorganisasi di lapangan, tetapi juga bisa menjadi salah satu rujukan bagi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. “Harapannya, Standar Setting dan Norma Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi ini kelak bisa digunakan Hakim di MK atau MA sebagai rujukan.  Oleh karena itu, kita mengharapkan para peserta jangan sungkan memberi masukan di  pertama ini masih akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya guna menggali masukan dari pemerintah maupun masyarakat ,“ ujar M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM.

Kegiatan dimaksud mengundang sejumlah pihak yang kompeten dan relevan dengan isu Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi, baik dari perwakilan lembaga/institusi pemerintah, serta organisasi masyarakat sipil. Setiap sesi didahului dengan pertanyaan kunci untuk dan setiap peserta yang hadir berpartisipasi penuh dan menyampaikan pandangannya terkait ide pembuatan standar norma dan setting kebebasan berkumpul dan berorganisasi.

Frans Rumbino dari Kesbangpol Bogor menyatakan, Pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan yang bertujuan menciptakan keamanan dan ketentraman. Salah satu kebijakan dimaksud dapat berupa instrumen administrasi yang memberikan pengakuan dan kelayakan bagi ormas untuk mendapatkan akses sumber daya. Selain itu, Abdul Ghoffari H peneliti dari Mahkamah Konstitusi menekankan dalam standar setting ini nantinya membahas tafsir tentang “pengakuan” terhadap ormas yang tidak berbadan hukum karena berpotensi mengalami penyimpangan di lapangan.

Di sesi organisasi masyarakat sipil,  Diaz Bachtiar dari Millah Abraham menanyakan bagaimana koordinasi pusat dan daerah terkait pencabutan SKT, karena kelompok Millah Abraham mengalami pencabutan SKT melalui Surat Edaran tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sedangkan Ryan Korbarri  dari Arus Pelangi membagikan pengalaman kelompoknya yang dibubarkan baik oleh kelompok intoleran maupun kepolisian dengan alasan kenyamanan dan menghindari dari kerusuhan.

Untuk masukan standar setting dan norma, Dhea dari Komnas Perempuan mengusulkan isu yang akan diangkat di standar setting bukan bentuknya pengawasan, tetapi perlindungan. Selain itu, juga Komnas Perempuan memberi masukan tim agar mencantumkan instrument internasional dalam standar setting dan norma Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi. (Agus Suntoro/Elga)

Short link