Kabar Latuharhary

Menyoal Definisi Makar

LatuharharyMenyusul maraknya isu makar yang memenuhi ruang publik akhir-akhir ini, Komnas HAM menyelenggarakan diskusi internal dengan tema “Makar menurut Spektrum Hukum dan Makar Menurut Spektrum HAM” di kantor Komnas HAM Menteng-Jakarta Pusat, pada Jumat (14/6/2019).

Tampak hadir pada diskusi ini adalah Hairansyah (Wakil Ketua Bidang Internal), Choirul Anam (Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian) yang juga merangkap sebagai pemandu diskusi, Munafrizal Manan (Komisioner Subkomisi Mediasi), Amiruddin Al Rahab (Koordinator Penegakan HAM) serta Asril (Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan/ LeIP) dan  Asfinawati (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pada diskusi tersebut, Asril sebagai narasumber pertama, mengungkapkan bahwa kendati pasal makar telah menggunakan definisi yang salah, namun selama ini tetap dipaksakan untuk masuk dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP) di Indonesia.

Hal tersebut dilakukan, menurut Asril, karena selama ini pasal tersebut telah ‘dimanfaatkan’ untuk menjaga kekuatan politik. “Definisinya kurang tepat, kata makar telah dipaksakan menjadi arti dari istilah Belanda aanslag yang artinya serangan atau violence attack. Padahal kata makar sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab yang artinya berkhianat.  Istilah ini (makar) telah digunakan dengan salah kaprah dan menjadi salah satu unsur dari pasal KUHP,” ungkapnya.

Lebih lanjut Asril memaparkan bahwa makar yang dikenal oleh masyarakat seakan-akan merupakan upaya menggulingkan pemerintah. Agar tidak memicu terjadinya pelanggaran HAM, kita harus mengembaikan ke istilah aslinya yaitu anslaag yang artinya serangan atau violence attack. Oleh karena itu jika tidak ada serangan dalam bentuk fisik, maka tidak bisa disebut sebagai makar karena yang dipidanakan adalah serangannya, bukan niat menggulingkan pemerintah”,paparnya.

Asfi sebagai narasumber selanjutnya menambahkan, persoalan berikutnya adalah menurut hukum pidana yang berlaku saat ini (KUHP), semua percobaan bisa dipidanakan. Semisal seorang yang membeli pisau dan membawa ke tengah jalan, dapat dimasukkan dalam kategori percobaan pembunuhan.Apabila menggunakan konsep percobaan, niat orang ditakar menurut pikiran polisi (penakar). Seharusnya apabila pisau itu sampai dibawa masuk ke rumah orang lain lalu berusaha menghunuskannya ke orang tersebut, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai percobaan pembunuhan”, ujar Asfi.

Apabila pendapat Asfi ini dikontekstualkan pada kasus yang saat ini marak, Asfi menilai, bahwa sekedar omongan people power , tidak bisa disebut makar. “Kita harus menjauhkan diri dari bias politik. Terkait isi dan bentuk, harus lebih ditinjau lagi agar tidak salah memaknai masalah ini. Apabila hanya sekedar omongan, seharusnya masuk kategori syiar kebencian, penghasutan, bukan makar”, tukasnya.

Pada kata penutup diskusi, Choirul Anam menilai bahwa perlu dilihat potensi atau dampak yang akan ditimbulkan dari sebuah tindakan makar. “Apabila tidak ada tindakan konkret, tidak bisa disebut makar karena makar itu harus ada tindakan konkret”, pungkasnya. (Niken/ENS)

Short link