Kabar Latuharhary

Solusi Komnas HAM untuk Konflik Pertambangan di Kaltim

Latuharhary – Komnas HAM melalui Subkomisi Pengkajian dan Penelitian menggelar acara sarasehan yang mengangkat tema “Mencari Jalan Keluar Penyelesaian Konflik Pertambangan di Kalimantan Timur”, bertempat di di Fakultas Hukum Universitas Mulawarkan, Samarinda, Kalimantan Timur (30/07/2019).

 

Turut hadir pada acara tersebut adalah Hairansyah (Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM), Sandrayati Moniaga (Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM),  M. Choirul Anam (Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian), serta Andante Widi Arundhati (Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM).

 

Sarasehan ini dilaksanakan akibat sejumlah persoalan yang melatarbelakangi konflik pertambangan di Kalimantan Timur. Selain maraknya penambangan ilegal, di provinsi ini juga terdapat cukup banyak sisa galian tambang berupa lubang yang menganga. Terhitung telah puluhan korban jiwa berjatuhan akibat tidak adanya penanganan terhadap lubang sisa galian tersebut.  

 

Selama kurun waktu 2011 s.d. 2019, berdasarkan data yang dihimpun Kommas HAM, setidaknya terdapat 35 nyawa melayang di lubang bekas tambang tersebut. Para korban sebagian besar adalah anak – anak yang tengah bermain di sekitar lubang tambang.  

 

Melalui sarasehan ini, diharapkan akan terbangun ruang-ruang diskusi guna mencari jalan keluar penyelesaian polemik dengan menggali ide-ide dan fakta-fakta serta mencoba mencari rumusan dan strategi terutama akibat berkurangnya hak hidup dan hak atas rasa aman warga Kalimantan Timur, khususnya yang tinggal di sekitar lokasi bekas galian tambang. “Pada Tahun 2015, Komnas HAM sudah melakukan pemantauan terhadap kasus ini dan pada tahun 2016, kami sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah namun hingga saat ini belum juga ditindaklanjuti. Tampak sekali belum adanya kesungguhan dari pemerintah,,” sesal Sandrayati Moniaga (Wakil Ketua bidang eksternal Komnas HAM) atau yang akrab disapa Sandra.

 

Terkait kondisi ini, Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Choirul Anam, mengatakan bahwa Komnas HAM saat ini menawarkan sebuah mekanisme penanganan yang cepat dan efektif terhadap  penambangan ilegal dan korban dari kasus tersebut. “Mekanisme ini dibuat dalam bentuk position paper yang akan diajukan kepada gubernur dan kepolisian dalam jangka waktu 3 bulan ke depan. Upaya ini diharapkan akan mampu menekan jumlah korban jiwa dan mendorong penyelasaian konflik akibat pertambangan ilegal,” pungkasnya.

 

Perlu disampaikan bahwa kandungan emas hitam di Samarinda, Kalimantan Timur telah menjadi incaran para penambang ilegal. Cara yang dilakukan para penambang ilegal tersebut untuk mengeruk emas hitam atau batu bara, dilakukan dengan banyak modus.

 

Modus terbaru adalah dengan mengajukan izin pembangunan perumahan di atas lahan tambang yang dimaksud. Setelah membangun satu unit rumah, para penambang ilegal ini akan menghentikan pembangunan rumah lain dengan alasan tengah melakukan proses pematangan lahan. Pada saat itulah, para pengembang fiktif ini melakukan pengerukan batu bara di lahan perumahan.

 

Modus lain adalah untuk mencari bahan baku bakal pembangunan sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan. Alih – alih mencari bahan baku untuk pembangunan, para penambang ilegal ini justru mengeruk batu bara di lokasi yang sudah mereka pilih. Alhasil dari kegiatan pengerukan batu bara tersebut, banyak sisa galian berupa lubang yang menganga kendati wilayah tersebut sangat mudah diakses oleh anak-anak.  

 

Pemerintah Lamban Tangani Konflik Pertambangan di Kaltim

 

“Berbicara kasus pertambangan, tentu pada awalnya kita akan melihat terlebih dahulu hak menguasai dari suatu negara itu seperti apa serta bagaimana konsesi itu muncul. Berdasarkan hasil putusan konstitusi yang ada, hak menguasai dari suatu negara itu tidak hanya memberi izin, namun juga melakukan pengelolaan dan pengawasan agar memberikan manfaat bagi masyarakat,” tegas Hairansyah pada acara yang sama.

 

Hairansyah mengatakan bahwa pelanggaran yang terus menerus terjadi dan jatuhnya korban jiwa, merupakan bukti bahwa negara tidak menjalankan fungsi pengawasan. ”Apabila kita cermati, masalah terkait pertambangan banyak terjadi di wilayah Indonesia, bukan hanya Kalimantan Timur. Penambangan ilegal yang berlangsung bahkan sangat terstruktur, sistematis dan masif. Akibatnya, cukup banyak kasus-kasus yang ditimbulkannya tidak pernah  terselesaikan. Hal ini mengindikasikan adanya jaringan besar yang menguasai sistem pertambangan di Indonesia, termasuk Kalimantan Timur dan sejumlah provinsi di Indonesia yang kaya akan hasil tambang,” ungkapnya.

Masalah-masalah lain, lanjut Hairansyah, diantaranya adalah pemblokiran lahan, tumpang tindih kewenangan, ekspor ilegal, konflik sosial budaya, kerusakan lingkungan, dan persoalan hukum.

 

Problem regulasi dan prosedur, menurut Hairansyah, seharusnya tidak menjadi kendala bagi penegakan HAM di Indonesia. Semisal apabila terjadi masalah tumpang tindih kewenangan, maka bukan berarti negara dapat lepas tanggung jawab. “Harusnya ada situasi konkret yang diberikan oleh negara. 35 Orang telah meninggal, ini berarti tidak ada tindakan yang memadai dari negara”, ungkapnya.

 

Kembali Hairansyah menukaskan bahwa hilangnya hak hidup terutama anak-anak menunjukkan bahwa negara tidak hadir terutama dalam pemenuhan HAM. “Jika kita dengar aspirasi dari keluarga korban, mereka hanya menginginkan agar tidak ada lagi korban berikutnya. Hal tersebut adalah bagian penting dari persoalan ini,” tegasnya.

 

Pada kesempatan tersebut, Hairansyah juga mengungkapkan bahwa terkait kasus pertambangan di Kaltim, Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan menghasilkan 2 (dua) rekomendasi yang ditujukan kepada Dinas ESDM Provinsi Kaltim, Pemerintah Provinsi Kaltim, dan aparat terkait. Akan tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut yang dilakukan.  (Feri/Niken/Ronny/Arief/ ENS)

 

 

 

Short link