Kabar Latuharhary

Catatan Komnas HAM Bagi Proyek Reklamasi Bekas Galian Tambang

Latuharhary - Kasus reklamasi tambang bukan saja menyoroti pelestarian lingkungan hidup, terdapat sejumlah tuntutan penegakan Hak-hak Asasi Manusia di balik isu tersebut.


"Presiden mengimbau jangan menggunakan istilah legal dan ilegal dalam pemulihan lingkungan, bagaimanapun pertambangan melibatkan warga negara sehingga harus ditata. Tetapi, penegakan hukum tetap harus dilakukan," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengawali pembicaraannya di Focus Group Discussion (FGD) Percepatan Pemulihan Lingkungan Akibat Pertambangan yang dihelat oleh Kementerian LHK, Kamis (15/8/2019).


KLHK memiliki program reklamasi lahan paska tambang ilegal. Rencananya bekas galian yang membentuk kolam raksasa dijadikan sumber air bersih bagi warga sekitarnya.


Di sisi lain, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga, Kabiro Dukungan Penegakan Komnas HAM Gatot Ristanto, dan Peneliti Komnas HAM, Mochamnad Felani yang berpartisipasi dalam FGD tersebut menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran hak-hak yang sangat kuat. Hak utama yang dilanggar, yaitu hak atas hidup. Selanjutnya, pelanggaran Hak Atas Lingkungan Lidup yang baik dan sehat. Kasus bekas tambang di Provinsi Kalimantan Timur sebagai contoh kasusnya.  


“Kondisi di Kaltim itu sudah sangat tidak layak. Hak atas rasa aman sangat kuat dalam hal ini. Banyak keluarga korban saat ini yang ketakutan anaknya jadi korban lagi. Tentunya juga ada hak atas kesejahteraan karena sebagian tanah yang menjadi tambang adalah tanah pertanian," papar Sandrayati.


Ia juga menginformasikan bahwa pada tahun 2015 tercatat pengaduan terkait kasus tambang. Berlanjut pada 2016, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi untuk memanggil pihak-pihak yang terlibat. Lantaran temuan Komnas HAM memerlihatkan sebanyak 35 anak yang tengah bermain di sekitar area tambang ditemukan meninggal dunia sejak lima tahun terakhir. 


"Harus ada langkah yang cepat dan konkret. Kalau tidak, negara dalam hal ini melakukan pembiaran terhadap warga negara," kata Sandrayati. 


Komnas HAM juga menemukan berbagai penyimpangan dalam proses penambangan. Banyak kaidah-kaidah yang tidak diterapkan terutama pada pertambangan yang berbatasan dengan permukiman penduduk. Ada lokasi pertambangan yang berjarak sekira 50-100 meter dari area permukiman. Potensi terjadinya korban galian lubang bekas tambang makin menjadi besar.


Selain itu, banyak anggota masyarakat  melakukan aktivitas penambangan yang tanpa izin di areal peruntukan tambang. Sehingga lubang bekas galian menganga di berbagai tempat yang minim pantauan.


“Ada persoalan koordinasi juga di daerah yang kemudian sulit dilakukan, izinnya sebelum UU Otonomi Daerah, izin dikeluarkan oleh bupati/wali kota. Kemudian, ditarik ke provinsi sejak 2003 hingga sekarang, pengawasannya tidak ada,” kata Kabiro Penegakan HAM, Gatot Ristanto. 


Beberapa instrumen dalam penambangan pun tidak bisa dilakukan karena keterbatasan, sedangkan izinnya keluar terus. Komnas HAM pun berupaya meminta pertanggungjawaban serta klarifikasi dari pemda hingga Pemprov Kaltim dengan mendatangi pihak terkait medio akhir Juli 2019 untuk menuntaskan penutupan lubang bekas galian tambang batu bara serta tindak lanjut hukumnya. Lantaran berdasarkan pengamatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) masih ada sekira 1.000 lubang tersebar di wilayah Kaltim. (SP/IW)
Short link