Kabar Latuharhary

“Waspadai Perbudakan Modern”

Latuharhary – Isu perbudakan model baru (modern slavery) yang menghantui dan tidak disadari oleh masyarakat Indonesia mencuat dalam diskusi media rutin yang mengangkat tema “Refleksi HAM : 74 Tahun Merdeka Sudahkah Wong Cilik Merdeka ?” bertempat di Gedung Komnas HAM Jakarta, pada Jumat (23/08/2019).

Dalam diskusi rutin dwi-mingguan ini juga turut menghadirkan beberapa narasumber yaitu Koordinator Penegakan yang juga Komisioner Subkomisi Pemantauan Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Desvian Bandarsyah (Dekan PKIP UHAMKA), Heru Jani Putra (sastrawan), dan yang Gustika Jusuf Hatta (aktivis). 

“Kenyataan hari ini, di balik semua angka hebat dari berkembangnya startup dan unicorn di Indonesia, yang harus kita waspadai adalah 80% pencari kerja di Indonesia adalah lulusan SMP. Jadi kita yang berlebih menurut saya, wajib berbicara tentang nasib “Wong Cilik” ini, karena jika tidak maka mereka akan semakin terlupakan dan terpinggirkan namun begitu ada masalah mereka juga yang akan disalahkan,” ungkap Amir saat membuka diskusi ini. 

Pada kesempatan yang sama, Gustika Jusuf Hatta, berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya sudah mencapai nilai kedaulatan. Akan tetapi belum sepenuhnya merdeka. Menurutnya setiap masyarakat memaknainya dengan cara yang berbeda-beda.
“Indonesia adalah negara yang berdaulat, jadi mungkin kedaulatan itu sendiri sudah dicapai oleh Indonesia secara negara. Tapi kalau merdeka itu, setiap orang memaknainya dengan cara yang berbeda.” pungkas Gustika

Gustika melanjutkan, kendati Indonesia telah menyatakan kemerdekaan sejak 74 tahun silam, namun ternyata masih banyak rakyat Indonesia yang terlibat dalam perbudakan modern/baru. “Kalau tidak salah sampai 40 juta jiwa (yang terlibat dalam perbudakan modern),” ujar Gustika yang juga merupakan cucu dari Bapak Proklamator Bung Hatta. 

Selain itu, menurutnya banyak hal yang tidak disadari oleh beberapa masyarakat. Misalnya, sebagai warga negara Indonesia kita didikte untuk mencintai produk dalam negeri, namun kita tidak menyadari latar belakang pembuatan sebuah produk tersebut, banyak buruh pabrik yang haknya tidak terpenuhi.

“Ketika saya ingin membeli sebuah kaos dan bertuliskan made in indonesia, mungkin bagi orang yang berfikirnya tidak jauh pada awalnya mungkin seperti saya bangga juga produk Indonesia bisa masuk ke luar negeri. Tapi yang kita tidak tau, banyak buruh-buruh pabrik yang terlibat dalam proses produksi, tidak terpenuhi haknya. Semisal banyak dari mereka yang dibayar di bawah UMR,”tutur Gustika. 

Gustika juga mengungkapkan bahwa terdapat cukup banyak tipe perbudakan modern. “Selama 4-5 tahun yang lalu saya pernah membaca artikel yang mengungkapkan bahwa di panti-panti pijat itu rata-rata pekerjanya di bawah umur 16 tahun dan itu merupakan usia anak-anak. Sehingga ini perlu perhatian khusus, kenapa mereka sampai bisa terjun di situ,” sesalnya.   

Pernyataan ini sesungguhnya diperkuat oleh Amiruddin. Menurutnya, demikian lah yang terjadi pada fenomena industri di pinggiran Jakarta. Ia sangat menyesalkan hal ini dan mengapa kondisi ini cenderung dibiarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Yang cukup mencengangkan kita semua adalah peristiwa terbakarnya pabrik panci di Jakarta Barat dimana belakangan diketahui bahwa mereka telah memperkerjakan anak-anak di bawah umur.  

Terlepas dari fenomena tersebut, Gustika mengaku sangat keberatan dengan penggunaan istilah wong cilik yang terkesan sangat orde baru. “Saya keberatan dengan istilah wong cilik yang menjadi judul diskusi ini karena terkesan sangat orde baru dan mengecil-ngecilkan orang lain. Saya lebih senang menyebutnya dengan istilah kelas pekerja. Saya tertarik ketika Pak Amir mengatakan soal kebijakan, karena saat ini pemerintah belum menangani kebijakan dengan baik,” seru Gustika di sela-sela diskusi.
 
Gustika menyatakan seharusnya pendekatan kebijakan ini tidak disamakan untuk semua daerah, harus disesuaikan dengan karakterisik daerah tersebut. “Semisal pemberlakuan kebijakan pembatasan internet baru-baru ini. Saya jadi teringat dengan quotes Montesquieu: kalau dalam sebuah negara tidak pernah terdengar adanya konflik, mana mungkin kita diyakinkan bahwa di negara tersebut ada kebebasan,” tukasnya. 
 
Menutup pemaparannya, Gustika kembali mengingatkan bahwa kebijakan menutup informasi adalah kebijakan yang tidak tepat bahkan justru menyembunyikan konflik yang sebenarnya. Sama halnya dengan isu perbudakan modern yang tergolong jarang dibicarakan oleh masyarakat namun nyata ada dan masih berlangsung justru di jaman modern seperti saat ini.
 
Dekan Forum Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HAMKA, Devian Bandarsyah, berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan ideologi pembangunan memberi tekanan yang semakin tinggi terhadap rakyat kecil. Menurutnya, struktur pembangunan ekonomi Indonesia yang timpang dan masih berlangsung hingga saat ini memicu berlangsungnya inflasi.

“Inflasi itu mengerogoti tingkat kesejahteraan masyarakat bawah, sekeras apapun wong cilik berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka yang terpenuhi hanya bagian perut kebawahnya saja. Tapi kebutuhan dari perut ke atasnya tidak terpenuhi, karena penghasilan masyarakat kecil itu digrogoti oleh inflasi,” Jelasnya.

Lebih lanjut, Devian membahas imbas dari penyelenggaraan pembangunan yang dapat berujung perampasan kebebasan rakyat kecil dalam mengekspresikan rasa kekecewaannya.

“Tekanan terhadap penyelenggaraan pembangunan itu tidak hanya berimbas pada persoalan ekonomi. Ketika ekonomi rakyat kecil mengalami masalah, ekspresi rakyat itu kan sederhana, dia meletupkan ekspresi kekecewaan atau ketidak senangan dalam bentuk protes dan demo. Namun hal tersebut tidak bisa, hal itu dikunci oleh kekuasaan, tidak ada ruang untuk mengekspresikan ketidak bahagiaannya,” tegas Devian. (Bex/ Radhia/ENS) 

Short link