Kabar Latuharhary

Komnas HAM Terima Audiensi Masyarakat Adat Sihaporas

Kabar Latuharhary – Beberapa perwakilan masyarakat adat Batak Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara bersama pendamping, melakukan audiensi dengan Komnas HAM terkait sengketa lahan berkepanjangan yang mereka alami, di ruang Pengaduan Komnas HAM Menteng Jakarta, Selasa (02/10/19). 

Audiensi yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam tersebut, diterima langsung oleh Sandrayati Moniaga selaku Wakil Ketua Bidang Eksternal dengan didampingi staf Bagian Dukungan Pelayanan Pengaduan. 

Pada kesempatan tersebut, salah satu perwakilan masyarakat adat yang menurut pengakuannya merupakan generasi kedelapan keturunan masyarakat adat Sihaporas menceritakan sejarah tanah dan konflik lahan yang terjadi. 

“Orang tua kami selama kurang lebih 200 tahun, telah mengelola lahan adat secara turun temurun. Pada tahun 1913, lahan garapan sempat dipinjam paksa oleh Belanda, untuk ditanami pinus, namun belum tiba waktunya panen, Indonesia sudah merdeka. Tanah tersebut kemudian, diambil oleh Negara dan dijadikan hutan negara, lalu diberikan kepada PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Pada tahun 1998, warga sepakat menuntut hak atas tanah kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Simalungun. Pemkab Simalungun tidak berbuat banyak karena persoalan ini dinilai sebagai kewenangan pemerintah pusat. Pun seandainya menjadi kewenangan Pemkab Simalungun, tanah yang akan diberikan kepada masyarakat hanya sekitar 150 Ha, sedangkan tanah masyarakat yang dikelola pemerintah sebesar 2049 Ha. Kondisi ini telah menjadi akar konflik”, paparnya getir.

Pihak pendamping warga ikut menjelaskan bagaimana konflik di Simalungun kembali terjadi. Ia menceritakan bahwa pada tanggal 16 September 2019 telah terjadi konflik fisik antar masyarakat adat dengan PT. TPL. Pemicu konflik adalah pemukulan terhadap anak kecil yang mengakibatkan korban jatuh pingsan. Terhadap kejadian ini, lanjutnya, aparat kepolisian tidak berbuat apapun. 

Peristiwa ini, menurutnya, semakin menguatkan indikasi keberpihakan pemerintah/aparat kepolisian terhadap korporasi (PT. TPL). “Ada kejadian dimana ikan yang biasa digunakan untuk ritual adat tiba-tiba mati mendadak, setelah ditelusuri ternyata ada tindakan peracunan oleh PT. TPL. Hal tersebut sudah dilaporkan, namun tidak ada tanggapan yang serius. Tidak hanya ikan, tapi juga peracunan terhadap beberapa tanah/kebun warga. Ada juga penangkapan oleh polisi tanpa prosedur yang sesuai, salah satunya tidak ada surat penangkapan/penahanan,” jelasnya.

Ia menyampaikan bahwa Sihaporas memiliki sejarah air bersih yang baik, dibantu dengan kultur budaya yang menghargai air dan haram untuk mengotorinya. Persoalannya, saat ini banyak hutan ditebang dan mengganggu sirkulasi mata air, termasuk dengan meracuni sungai/mata air di Sihaporas menggunakan racun pestisida. Dampaknya, setelah 2 hari sungai menjadi bau dan membusuk, serta mengancam ikan endemic yang ada di sana, padahal ikan adalah sumber protein warga sekitar. “Kami berencana untuk mengadukan persoalan ini ke beberapa lembaga terkait,” pungkasnya. 

Menanggapi pengaduan ini, Sandra mengungkapkan bahwa Komnas HAM akan memproses berkas pengaduan yang telah diterima sesuai dengan prosedur dan fungsi yang dimiliki oleh Komnas HAM. “Berkas ini kami terima dan akan kami pelajari. Selama kasus ini ditangani, kami akan mengeluarkan surat bahwa kasus ini sedang dalam pemantauan kami,” jelas Sandra.

Sandra juga mempersilakan kepada para pendamping jika ingin mengadukan dan melaporkan kasus Sihaporas tersebut ke lembaga/instansi atau pihak-pihak terkait lainnya. “Tidak mengapa jika Saudara melaporkan ke banyak pihak, namun mohon segera infokan ke kami bila tidak ada reaksi/tanggapan. Kami juga meminta info progress dari berbagai laporan ke lembaga lain sehingga kami dapat berkoordinasi agar tidak salah dalam mengambil tindakan. Kami juga meminta kejelasan mengenai lembaga mana yang akan menangani, jika sudah ada, maka Komnas HAM akan memantau saja, biar tidak tumpang tindih,” tutup Sandra. (Niken/ENS)

Short link