Kabar Latuharhary

Lima Lembaga Negara Komitmen Dorong Perlindungan Hak Asasi Tahanan Imigrasi

Laturharhary – 5 (lima) lembaga negara yang terdiri dari Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombusman Republik Indonesia (ORI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) untuk bersama-sama melakukan upaya pengawasan dan pencegahan penyiksaan dan perlakuan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat terhadap setiap orang yang berada di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan di rumah detensi imigrasi dan ruang detensi imigrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi di Gedung Komnas HAM Jakarta Pusat pada Selasa, 30 April 2019.

 

PKS ini ditandatangani oleh perwakilan dari lima lembaga yaitu Sandrayati Moniaga (Komnas HAM), Yuniyanti Chuzaifah (Komnas Perempuan), Putu Elvina (KPA), Ninik Rahayu (Ombudsman RI), Maneger Nasution (LPSK), dan Ronnie F. Sompie (Direktur Jenderal Imigrasi).

 

"Kita perlu melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan dan mendorong pemenuhan hak-hak tahanan di rumah detensi imigrasi (rudenim). Perjanjian ini didasari pada mekanisme dan protokol yang telah diratifikasi," jelas Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga usai penandatanganan PKS.

 

Hal ini penting karena menurutnya keterbatasan kuota rumah detensi imigrasi (rudenim) berpotensi menimbulkan problem sosial baru, terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia. Demi pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap deteni (tahanan) serta terpenuhinya hak-hak mereka, maka lima lembaga negara menyatakan komitmen bersama.

 

Sandra berharap, komitmen antarlembaga selain sebagai simbol kolaborasi strategis juga memastikan tidak adanya kekerasan di tempat tercerabutnya kebebasan. Ke depan, lanjutnya, Komnas HAM akan memperluas kerjasama serupa dengan pihak Polri.

 

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Imigrasi Kemenkumham Ronny F. Sompie, menyatakan bahwa kendati kelima lembaga negara yang tergabung dalam Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan tersebut mempunyai perspektif obyek berbeda, namun terikat pada satu kepentingan. "PKS sangat penting sebagai sarana pengawasan untuk menghindari penindasan atau merendahkan martabat orang yang ditempatkan di rudenim. Saya yakin kerjasama ini dapat menjembatani koordinasi dan komunikasi dengan lima lembaga untuk menunjang tusi keimigrasian di rudenim dalam rangka pemenuhan HAM tahanan," kata Ronny.

 

Di Indonesia, lanjutnya, terdapat 13 rudenim detensi dan 125 ruang detensi imigrasi yang melekat di seluruh kantor imigrasi. Pihaknya menampung sekitar 393 orang asing terkait masalah hukum keimigrasian. Ronny tak menampik potensi kekerasan bisa terjadi karena daya tampung rudenim yang hanya 150 orang, rata-rata ditempati hingga 400 orang.

 

Para pencari suaka dan pengungsi di Indonesia mencapai lebih dari 13 ribu orang. Ditjen Imigrasi menampung sekitar 7.000 orang di rudenim dan community house, sisanya berstatus mandiri. 

 

Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menegaskan, tugas dan fungsi lembaganya menerima laporan tentang pelayanan publik di rudenim. "Kami ingin memastikan bersama bahwa di lapas dan imigrasi tak terjadi penyiksaan," cetusnya.

 

Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengapresiasi pandangan terbuka dari Ditjen Imigrasi. Pihaknya memperjuangkan nasib deteni perempuan yang rentan secara psikologis. "Lima lembaga negara ini memperbaiki kondisi keimigrasian. Indonesia bisa menjadi role model Asia karena punya kekuatan moral dan politis di tengah mobilitas global migran yang memerlukan perlindungan global," urai Yuni.

 

Lebih lanjut, kolaborasi ini juga ditujukan untuk menghasilkan rekomendasi berdasarkan hasil temuan pemantauan dan pengawasan yang dirumuskan melalui dialog konstruktif. Sekaligus upaya tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara 5 lembaga negara dengan Kementerian Hukum dan HAM tentang Pengawasan dan Pencegahan Penyiksaan di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM yang ditandatangani pada 27 April 2016 silam.

 

PKS ini dibuat sebagai pedoman bagi Direktorat Jenderal Imigrasi dan 5 lembaga negara dalam upaya pengawasan dan pencegahan penyiksaan, terutama terhadap setiap orang yang berada di tempat-tempat terjadinya pencabutan kebebasan (deprivation of liberty) serta pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.

 

Selama periode PKS ini, kelima lembaga negara akan melakukan kunjungan bersama dalam rangka pengawasan dan pemantauan di Rumah Detensi Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi. Selain itu, juga akan dilakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Hal tersebut sesuai tugas dan fungsinya menangani deteni melalui berbagai kegiatan seperti dialog konstruktif dan pelatihan, perumusan rekomendasi, dan diseminasi. (IW/ ENS)

 

Short link