Kabar Latuharhary

Ketua Komnas HAM Berbicara pada Dialog Regional untuk Konvensi Anti Penyiksaan di Malaysia

Kuala Lumpur - Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, menghadiri acara Regional Dialogue on Malaysia’s Accession to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) sebagai salah seorang pembicara, bertempat di Kuala Lumpur Malaysia, pada Senin (8/7/2019).

Selain Taufan, turut hadir sebagai pembicara adalah Brigjend Agung Makbul (Mabes Polri) yang mempresentasikan pengalaman kepolisian Indonesia dalam menerapkan standar PBB tentang anti penyiksaan di dalam proses penegakan hukum di Indonesia; Abdelwahab Hani (Anggota Komite PBB untuk Anti Penyiksaan); wakil dari Maroko, serta beberapa pembicara lain dari kantor PBB di Bangkok, APT Jenewa dan CTI.

Kegiatan dibuka oleh Wakil Menteri Hukum di bawah Kantor Perdana Menteri Malaysia, Mohammed Hanipa Maidin. Ratusan peserta tampak hadir meramaikan diskusi tersebut, mereka datang dari berbagai latar belakang, utamanya wakil-wakil Pemerintah Malaysia, beberapa duta besar dan badan PBB, Ketua Komnas HAM Thailand, dan wakil-wakil NGO dari berbagai negara.

Perlu disampaikan bahwa berbagai upaya pendekatan tengah dilakukan kepada Pemerintahan Mahathir Muhammad yang baru berkuasa di Malaysia khususnya terkait dengan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan Kejam dan Tidak Manusiawi (CAT) yang kendati telah dilahirkan sejak tahun 1984, hingga hari ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Malaysia akibat begitu banyaknya penolakan dari internal.

Oleh karena itu, baik Uni Eropa, CTI maupun Sub-Komite PBB untuk Pencegahan Anti Penyiksaan serta Suhakam selaku lembaga resmi hak asasi manusia di Malaysia, terus mencoba meyakinkan Pemerintah Malaysia agar bersedia menjadi negara peserta konvensi dimaksud. Tujuannya, tentu saja untuk mengikatkan diri kepada standar hak asasi manusia dalam menjalankan proses hukum di negeri tersebut. Terlebih karena negara dengan jutaan orang asing yang bekerja di wilayahnya tersebut, banyak terlibat dalam persoalan hukum yang dilaporkan mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan standar internasional, khususnya Konvensi Anti Penyiksaan.

Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia yang justru telah meratifikasi konvensi tersebut sejak tahun 1998 dengan menerbitkan berbagai kebijakan termasuk UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.

Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, memberikan gambaran latar belakang juridis dimana prinsip-prinsip penghapusan dan pencegahan penyiksaan dan segala bentuk penghukuman yang tidak manusiawi dan kejam telah menjadi bagian dari konstitusi Indonesia (pasal 28G ayat 2) bahkan dimasukkan dalam kategori hak asasi yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights, di dalam pasal 28I ayat 1). Norma hak asasi ini juga dituangkan ke dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih implementatif dituangkan di dalam Peraturan Kapolri dan Peraturan Panglima TNI mau pun kementerian dan lembaga penegakan hukum lainnya.

Saat ini, lanjut Taufan, bersama empat lembaga negara lainnya, dalam rangka mendorong ratifikasi OPCAT mau pun membangun mekanisme pencegahan, dibentuk suatu mekanisme bersama yang disebut sebagai National Preventive Mechanism (Mekanisme Pencegahan Nasional). Langkah-langkah awal adalah membangun kerja sama dengan lembaga terkait di dawah Kementerian Hukum dan HAM, yakni dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Keimigrasian. Kedua lembaga ini sangat strategis untuk secara bersama membangun indikator pemantauan berkala untuk memastikan dipenuhinya standar hak asasi manusia.

Jauh sebelum ini, Komnas HAM juga telah bekerja sama dengan Kepolisian melalui MoU antara Ketua Komnas HAM dengan Kapolri untuk pemenuhan standar hak asasi di dalam proses penegakan hukum, termasuk melakukan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia di kepolisian. Standar dan norma hak asasi juga dikerjasamakan lebih implementatif dengan Brimob melalui pembuatan buku saku, pelatihan dan kunjungan reviu atas proses yang berlangsung. Perjanjian kerja sama juga dilakukan dengan beberapa Polda di Indonesia untuk pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, di mana salah satu rujukannya adalah Konvensi Anti Penyiksaan dan berbagai instrumen hukum dan HAM lainnya.

Kerja sama di tingkat nasional dan daerah ini sangat berkontribusi terhadap peningkatan profesionalisme kepolisian yang ditandai dengan menurunnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan Polri ketika berurusan dengan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

Taufan juga menambahkan terkait perlunya pengembangan kerja sama strategis yang luas dengan Kantor Staf Presiden, kementerian lain, Mabes TNI, Kejaksaan Agung, dan yang tidak kalah pentingnya adalah masyarakat sipil dan media massa yang dapat menjangkau khalayak yang lebih luas.

Taufan menjelaskan bahwa tidak perlu muncul kekhawatiran bahwa konvensi ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan sebagaimana disinyalir oleh sebagian pihak di Malaysia sehingga munculnya penolakan atas ratifikasi.

Perlu kerja keras semua pihak untuk meyakinkan seluruh komponen masyarakat di Malaysia bahwa penerapan standar Konvensi Anti Penyiksaan dan berbagai standar dan norma hak asasi manusia lainnya justru akan semakin memperkuat budaya hukum yang lebih bermartabat dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Norma-norma ini juga akan semakin memperkuat sistem demokrasi yang sedang berkembang di Malaysia. Kerja sama regional sesama ASEAN mau pun regional Asia Pasifik juga ikut membantu pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Malaysia mau pun di kawasan regional pada umumnya.

Pihak Maroko yang turut hadir sebagai undangan dan narasumber, menyampaikan bahwa kondisi di negara mereka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, Maroko telah lama meratifikasi konvensi ini dan cukup banyak melakukan upaya pencegahan terhadap potensi penyiksaan yang muncul di dalam proses hukum dan peradilan di negara mereka.(ATD)

Short link