Kabar Latuharhary

Menyoal Implikasi Kebijakan Pembatasan Kebebasan

Kabar Latuharhary – “Sejak 10 April pemerintah mulai memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) untuk menyikapi pandemi COVID-19 di Indonesia. Implikasi apa yang akan terjadi ketika sejumlah pembatasan itu diterapkan?”sebut Daniel Awigra, Deputi Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia saat membuka Diskusi Publik Online: “Antara Kesehatan Publik dan Pembatasan Kebebasan (Rilis Laporan Pemantauan Covid – 19 Berbasis HAM)”melalui platform Zoom, pada Kamis, (30/04/2020).

Hadir sebagai narasumber pada diskusi tersebut Dr. Brian Sriprahastuti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, M. Choirul Anam, Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI; Yuyun Wahyuningrum, Komisi HAM Antar pemerintah ASEAN (AICHR); dan Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG Indonesia.

Dr. Brian Sriprahastuti sebagai narasumber pertama menjelaskan bahwa terdapat berbagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam menyikapi pandemi COVID-19 di Indonesia.

“Dampaknya terhadap populasi umum diantaranya, kesehatan masyarakat dari sisi tata kelola dan kebijakan kesehatan, SDM Kesehatan, pelayanan kesehatan, pengadaan obat, alat kesehatan, biaya kesehatan, dan informasi kesehatan semuanya terdampak. Perekonomian global tak terkecuali Indonesia juga berdampak terhadap produktivitas kegiatan ekonomi dan aktivitas  ekspor dan impor”, papar Brian.

Selain beberapa hal tersebut, kebijakan yang ada juga berdampak pada ketahanan keluarga. “Misalnya mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta mereka yang penghasilannya bergantung dari pendapatan harian, tetapi karena situasi pandemi pendapatannya menurun, tentu saja menjadi terbatas kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari”, lanjut Brian.

Menguatkan narasumber sebelumnya, Komisioner Anam menjelaskan bahwa kita harus fokus pada kondisi kedaruratan, terutama pada soal-soal kesehatan ataupun ekonomi sehingga bisa clear dalam hal penanganannya.

“Salah satu hal yang perlu kita perhatikan dalam kedaruratan kesehatan, orientasinya misalnya menciptakan penyembuhan kesehatan, melakukan pencegahan, dan pemulihan sesegera mungkin. Kalau soal ekonomi, semua negara mengalami dampak ekonomi, tetapi kalau kita tidak melakukan satu tindakan tertentu maka dua-duanya bisa tidak secara cepat tertanggulangi”, ungkap Anam.


 
Menyoal ada atau tidaknya pelanggaran HAM dengan adanya kebijakan PSBB ini, Anam menjelaskan bahwa Komnas HAM dalam hal ini menggunakan metode progressive realization dengan menilai langkah pemenuhannya apakah cepat dan efektif, memenuhi standar minimum kualitas serta ketepatan pada sasaran.

“Dari metode tersebut, terlihat pada fase awal yang paling menonjol adalah alat-alat medis yang menunjang tenaga medis di Indonesia catatannya tidak maksimal. Lainnya adalah terkait pemberian kebutuhan hidup, ketepatan sasaran dan pendataan menjadi sangat penting. Salah data ini memang di mana-mana menjadi persoalan, di Bekasi yang kami lakukan monitoring, hampir di banyak daerah itu memiliki persoalan terkait pendataan”, ungkap Anam.

Faktor lain yang juga penting disoroti adalah tentang kesadaran masyarakat dan membangun solidaritas. Terkait kesadaran masyarakat ini Komnas HAM juga telah memberikan rekomendasinya kepada Presiden.

“Membangun kesadaran masyarakat ini bukan hanya dalam konteks menjaga jarak saja, tetapi juga soal solidaritas lainnya yang tidak hanya karena dia kasihan atau dia empati atau menunjukkan bahwa dia orang baik, tetapi juga berekspresi dan bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri, itu juga menjadi salah satu rekomendasi” ujar Anam.

Narasumber Yuyun melengkapi dua narasumber sebelumnya, melaporkan terkait penemuan-penemuan AICHR terhadap implikasi dari pembatasan wilayah dalam situasi yang terjadi saat ini.

“Beberapa negara-negara ASEAN jelas sekali bahwa kebebasan berekspresi dan beropini langsung mendapatkan implikasi dari pembatasan wilayah atau kebijakan-kebijakan yang dilakukan. Selain itu, kebebasan pers juga berimplikasi dalam situasi konkret ini. Kebebasan pers tidak dijaga sehingga para jurnalis agak susah untuk menyampaikan apa-apa yang sebenarnya terjadi saat ini”, tegas Yuyun.

Narasumber terakhir dari HRWG, Hafiz, mengemukakan bahwa ada tiga hal yang menjadi sorotan jika mengamati apa yang dilakukan pemerintah merespon pandemi ini.
“Pertama soal bagaimana keterlambatan dalam merespon yang membuat kita tidak cukup siap untuk menghadapi dampak COVID-19 itu sendiri. Yang kedua karena ada keterlambatan dalam merespon maka muncul kegamangan dalam menyikapi situasi. Akhirnya kegamangan ini berimplikasi pada kebijakan yang diambil. Misalkan, dari sisi pelaksanaan di masyarakat, pada akhirnya akan memunculkan pro dan kontra”, jelas Hafiz.

Implikasi dari kegamangan kebijakan tersebut yang disoroti Hanif salah satu nya adalah dari sisi keagamaan. “Sisi keagamaan dari dulu adalah isu yang sensitif, contohnya soal peribadatan.  Ketika tidak ada ukuran yang tegas, misalnya seperti apa dan seharusnya orang beribadah di bulan Ramadhan ini. Dari pengamatan kami yang terjadi adalah diskriminasi berbasis agama atau keyakinan. Ada satu kasus misalnya ada seorang camat yang dilaporkan kepolisi dengan tuduhan melakukan penodaan agama karena membubarkan sholat jumat”, ungkap Hafiz

Sebagai bahan penutup, moderator Awi menggaris bawahi soal pentingnya kita semua berfokus pada penyelesaian untuk menyukseskan program darurat kesehatan.

“Tentu saja ini membutuhkan kerja sama, solidaritas dan yang tak kalah penting adalah akuntabilitas yang dapat menumbuhkan rasa kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat”, pungkas  Awi. (Niken/Ibn)

Short link