Kabar Latuharhary

UU Minerba Disahkan, Komnas HAM Peringatkan Ada Potensi Konflik dan Pelanggaran HAM

Latuharhary – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang dengan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (12/5/2020) ditengarai berpotensi memicu konflik dan menjadi ancaman serius terhadap hak asasi manusia. 

Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah menilai UU Minerba yang baru direvisi ini selain bermasalah dalam proses penyusunan dan penetapannya juga memiliki masalah secara substansial dari sisi konten terhadap hak assai manusia. Proses penyusunan dan penetapan yang minim partispasi publik terutama kelompok masyarakat sipil yang konsen terhadap persoalan tersebut membuat proses revisi UU tersebut mengundang banyak pertanyaan. Padahal Partisipasi bertujuan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan suatu Undang-undang.. Meningkatkan partisipasi akan membantu memastikan bahwa kepentingan rakyat dapat lebih besar dipenuhi. Hal ini terkait dengan Hak untuk Turut Serta dalam Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999.

Dari sisi substansi paling tidak ada beberapa pasal yang berpotensi melanggar Hak asasi manusia yaitu pasal 1 ayat 28a yang mengatur wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi. Seluruhnya adalah kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Definisi seperti ini berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan pertambangan masuk ruang hidup masyarakat, yang selama ini tercermin dari kasus konflikt agraria yang ditangani komnas HAM.

Pasal 162 dan 164 UU Minerba dianggap  membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang akan semakin tinggi. Dimana berdasarkan catatan komnas HAM sebelum adanya ketentuan tersebut saja banyak kasus kriminalisasi terhadap aktifis, wartawan dan masyarakat yang kritis terhadap keberadaan aktifitas pertambangan dilingkungan mereka, melalui UU ITE maupun UU Pidana lainnya. 

Selain itu dari sisi isu anti korupsi revisi UU Minerba turut menghapus pasal 165. Padahal, pasal ini mengatur sanksi tindak pidana korupsi oleh pejabat negara dalam proses pertambangan. Sebelum dihapus, pasal ini berbunyi, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Hairansyah menjelaskan selain adanya kriminalisasi dampak lain industri pertambangan dan minerba lainnya, yaitu konflik agraria, dan kerusakan lingkungan,”jelasnya dalam dialog online yang diselenggarakan oleh Walhi Kalimatan Selatan bertajuk 'Disahkannya UU Minerba: Petaka Sosio Ekologi', Jumat (15/5/2020). 

Tiga permasalahan yang sering muncul ini, menurut Hairansyah, seharusnya menjadi catatan penting pada saat merevisi UU Minerba. Hal-hal ini harusnya menjadi landasan penting sebagai bahan untuk dilakukan revisi. Kalau ini dilakukan berarti revisi UU Minerba ini jelas dilakukan demi kepentingan rakyat dan perlindungan Hak Asasi Manusia,” sambungnya.

Ketentuan dalam Pasal 162 memiliki semangat yang bertentangan dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana dalam ketentuan ini  mereka  yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.

Paling tidak pasal-pasal yang terdapat dalam revisi Undang-Undang minerba ini harusnya memberi ruang bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya bukan sebaliknya. Kalau kemudian dalam UU Minerba yang baru justru memberi ancaman pemidanaan bagi masyarakat yang melakukan upaya memperjuangkan haknya, saya kira ini kemunduran yang sangat besar dan dapat menjadi ancaman serius bagi para pembela HAM," ujar Hairansyah menegaskan.

Lebih rinci, pasal 162 UU Minerba menyebut, "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” 

Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Menilik kondisi tadi, ia mengingatkan masyarakat terdampak, para aktifis serta para pembela HAM harus menyiapkan diri baik dari sisi strategi gerakan maupun dari strategi perlindunganya. Sebagai langkah konstitusional Publik bisa menggunakan mekanisme Judicial review ke MK untuk meminta pembatalan atas disahkannya revisi UU minerba dimaksud utamanya pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Pembicara lain dalam dialog ini, antara lain Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono dan Ahli Hukum dan Tata Negara Ahmad Fikri Hadin. 

Ahmad Fikri Hadin mencermati, akuntabilitas proses penyusunan hingga pengesahan UU Minerba banyak melampaui asas-asas formalitas dalam penciptaan undang-undang.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono juga menyampaikan beberapa rekomendasi yang disusun, yaitu setop perizinan baru, mereview perizinan tambang bermasalah, mengakui wilayah kelolaan rakyat, pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal. Sebagai bentuk proteksinya dengan membentuk satgas kejahatan tambang maupun satgas kejahatan lingkungan, penegakan hukum lingkungan, dan membentuk pengadilan lingkungan.

Rekomendasi lainnya dengan  membuktikan keseriusan dalam bernegara untuk mewujudkan lingkungan yang baik dan rakyat yang sejahtera serta memilih para pemimpin dan caleg yang berpihak pada keselamatan rakyat. (AAP/IW)a


Short link