Kabar Latuharhary

Komnas HAM Rekomendasikan Penanganan Kasus ABK Secara Komprehensif

Jakarta-Kasus dugaan penyiksaan anak buah kapal (ABK) China asal Indonesia terus bergulir. Komnas HAM ingatkan pentingnya mekanisme Hukum dan HAM tindak pidana transnasional dalam penyelesaian kasus tersebut.

 “Penting dikaji ketersediaan dan kekosongan mekanisme Hukum dan HAM tindak pidana transnasional. Saya ingin megajak kita semua melihat bahwa untuk mendalami isu HAM untuk memperluas opsi dalam menangani kasus ini,”tegas Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional “Sisi Gelap Kejahatan Transnasional Terorganisir: Polemik Kerja Paksa dan Pelanggaran HAM Terhadap ABK Indonesia dalam Perspektif Hukum Pidana” via Zoom Meeting yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Konsentrasi Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Sabtu (16/5/2020). 

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan atau The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment sebuah instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk mencegah penyiksaan terjadi di seluruh dunia. Bentuk ratifikasinya melalui UU No 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998. Melalui UU ini Indonesia juga melakukan deklarasi terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) serta melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (1) dari konvensi ini.



Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga wajib menjadi rujukan.

“Hak tidak diperbudak adalah hak yang tidak bisa dikurangi, termasuk hak hidup dan hak beragama, dalam keadaan apapun, oleh siapapun kecuali dibatasi oleh undang-undang,” imbuh Sandra.

Sandra yang pernah mengetuai penanganan kasus serupa di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku pada 2014 lalu ini berharap tumbuhnya kesadaran dalam memahami hak-hak dasar manusia pekerja. 

Pertama, sebelum bekerja, pekerja migran harus tahu proses rekrutmen dan paham hak beserta kewajibannya. Saat bekerja, pekerja migran harus tahu kondisi di tempat kerjanya, jam kerja, hak makan dan minum layak, waktu istirahat, pembayaran upah, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, pelaksanaan kebebasan beribadah, termasuk penanganan jenazah. Ketiga, hak mereka saat selesai bekerja hingga pemulangannya.

Ia merekomendasikan kepada Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian  Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk melaksanakan investigasi lebih mendalam terhadap peristiwa ABK tersebut. Selain itu, diharapkan adanya investigasi yang melibatkan organisasi masyarakat sipil dengan melakukan kajian yang komprehensif. 

“Ketika kita bicara hak asasi mari melihatnya secara komprehensif. Apa yang dialami, kita harus melihatnya dari sebelum bekerja, saat bekerja, dan pasca bekerja,” tegas Sandra.

Pembicara lain dalam acara ini, yaitu CEO IOJI Achmad Santosa dan akademisi FH UB Faizin Sulistio. (SP/IW)

Short link