Kabar Latuharhary

Pelonggaran PSBB Harus Berbasis Sains dan Non-Diskriminatif

Latuharhary – Tim Pengkajian dan Penelitian Covid-19 Komnas HAM melakukan reviu secara berkala terkait perspektif HAM atas penanggulangan pandemi Covid-19. Hasil reviu terakhir disampaikan melalui konferensi pers online, Jumat (22/05/20). Komnas HAM menekankan bahwa kebijakan pelonggaran PSBB harus berbasis Sains dan non-diskriminatif.

Acara dibuka oleh Kepala Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian, Mimin Dwi Hartono. “Ini merupakan sesi lanjutan, yaitu reviu ke empat setelah Komnas HAM menyampaikan 18 butir rekomendasi kebijakan perspektif HAM dalam tata kelola penanggulangan pandemi Covid-19 kepada Presiden pada 30 Maret 2020”, ujarnya.

Kemudian Mimin memaparkan hasil reviu yang telah diolah oleh tim Pengkajian dan Penelitian Covid-19 Komnas HAM. Berdasarkan data yang dihimpun, tercatat empat Provinsi dan 26 Kabupaten/Kota yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bila dilihat dari kurva mobilitas masyarakat, pelaksanaan PSBB menunjukan tren yang positif dan adanya pelandaian pada periode April.

“Pada April terlihat adanya penurunan pergerakan atau mobilitas masyarakat, ini memperlihatkan adanya efektivitas dari PSBB. Namun sejak awal Mei pergerakan masyarakat mengalami kecenderungan naik sehingga perlu diwaspadai dan dicari variabel penyebabnya”, papar Mimin.

Menurutnya penyebab naiknya kembali mobilitas masyarakat adalah adanya wacana pelonggaran PSBB yang disampaikan oleh beberapa pejabat pemerintah pusat, kontradiksi kebijakan-kebijakan seperti kebijakan mudik, dan suasana menjelang lebaran di mana masyarakat lebih pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan lebarannya dengan langsung mendatangi pasar dan pusat perbelanjaan.

Kebijakan yang saling kontradiktif ini menimbulkan Moral Hazard di masyarakat, mereka berupaya melakukan berbagai tindakan-tindakan untuk dapat mendapatkan keinginannya tanpa memperdulikan kesehatan dan keselamatan orang lain.

“Muncul berbagai bentuk surat keterangan palsu, jual beli alat tes yang tidak akurat dan ilegal, jual beli surat keterangan palsu sebagai upaya masyarakat untuk dapat mudik, termasuk mengelabui petugas dengan berbagai cara”, jelas Mimin.

Walaupun pelarangan mudik sudah disampaikan, tetapi masih ada saja masyarakat yang melakukan perjalanan mudik ke berbagai daerah sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya. Arus mudik tentu akan diiringi dengan arus balik, sehingga dikuatirkan akan adanya peningkatan kasus. Oleh karenanya arus balik menjadi hal yang harus diwaspadai saat ini sebab berpotensi menimbulkan persoalan baru mengingat karakteristik virus Covid-19 yang masih dalam penelitian lebih lanjut.

“Jika arus balik dibiarkan, akan membutuhkan sarana dan prasarana kesehatan yang lebih banyak, karena diperkirakan akan ada sekitar 2 juta orang balik ke Jabodetabek. Sedangkan sampai saat ini nyatanya fasilitas kesehatan masih sangat terbatas dan ini akan membuat kewalahan tim medis”.

Senada dengan Mimin, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam menyampaikan bahwa saat ini masyarakat membutuhkan kepastian dari Pemerintah dan diperlukan adanya kebijakan nasional yang terpusat satu pintu sehingga ada kepastian hukum dan tidak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

“Harus ada satu pandangan yang sama, jika belum matang jangan diungkapkan ke publik karena justru akan membuat gaduh”, ujarnya.

Pada kesempatan tersebut Anam menyarankan jika dalam mengambil kebijakan publik sebaiknya dilakukan secara tertulis karena menurutnya hal ini bersifat mendasar dan diperlukan adanya kejelasan yang bersifat formal dan komprehensif kepada masyarakat.

“Dijelaskan kenapa kebijakan tersebut diambil, kebijakan itu pun wajib tertulis agar menjadi rujukan bagi masyarakat dan para penegak hukum sehingga jelas dalam mengambil keputusan. Karena jika tidak ada penjelasan masyarakat akan kebingungan yang justru berpotensi menyebabkan frustasi akan semakin tinggi, ekonomi semakin menurun dan akan berdampak tidak baik di berbagai sektor”, lanjutnya.

Isu relaksasi yang saat ini beredar di masyarakat pun ikut menjadi perhatian Komnas HAM. Menurutnya, kelonggaran atau relaksasi baru dapat diberikan bila tren persebaran dan dampak Covid-19 sudah menurun bukan sedang tinggi-tingginya seperti saat ini. Selain itu ada tiga indikator yang  menentukan dalam pengambilan keputusan untuk relaksasi berbasis pada ilmu pengetahuan,yaitu epidemiologi, kesehatan masyarakat dan fasilitas kesehatan, sesuai dengan hasil diskusi yang telah dilakukan  dengan ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono, Ph.D.

Ketiga indikator tersebut harus memberikan hasil skor akhir “hijau” (di angka 75-100) sehingga PSBB dapat mulai dilonggarkan secara bertahap namun tetap dengan kewaspadaan terhadap adanya kemungkinan lonjakan kasus  Covid-19.

Anam juga menekankan agar kelonggaran yang diberikan jangan sampai menimbulkan diskriminasi pada masyarakat karena jika ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat maka akan berpotensi adanya pelanggaran hak asasi manusia. Adanya tarik menarik antara kepentingan kesehatan dengan kepentingan ekonomi pun ditenggarai sebagai penyebab kelonggaran kebijakan yang terjadi saat ini.

“Untuk pelaku usaha ekonomi menengah dan kecil ketegasan ada, sedangkan untuk yang ekonomi menengah ke atas itu ketegasannya cukup longgar. Potensial diskriminasi karena adanya perbedaan perlakuan terhadap status sosialnya yang mana bepergian menggunakan pesawat diperbolehkan, tapi perjalanan darat harus dilakukan secara diam-diam”, pungkas Anam.(Ratih/MDH/Ibn/RPS)

Short link