Kabar Latuharhary

Hari Anti Penyiksaan Internasional, Komnas HAM Dorong Ratifikasi OPCAT

Jakarta - Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi dan berulang di Indonesia. Momen Hari Anti Penyiksaan Internasional pada 26 Juni menjadi pelecut semua pihak mengimplementasikan mekanisme dalam Optional Protocol dari CAT (OPCAT). 

Indonesia sebenarnya telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia. 

“Undang-Undang ini sudah ada hampir 22 tahun namun secara obyektif belum menjadi rujukan,” terang Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin dalam konferensi pers online bertajuk "Hari Anti Penyiksaan: Pencegahan Terulangnya Praktik Penyiksaan dan Ill Treatment Terhadap Perempuan dan Anak" di kantor Komnas HAM, Kamis (25/6/2020).


Tindakan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang maupun tindakan merendahkan martabat manusia, faktanya masih banyak dilaporkan ke Komnas HAM. Data Komnas HAM periode 2019 – April 2020 mencatat 15 kasus dugaan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di kalangan kepolisian. Kasus kekerasan terjadi agar terduga pelaku kriminal mengakui sangkaan saat interogasi.  

Sementara itu, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019-2020 terdapat kasus tahanan perempuan dalam lingkaran konflik di Papua dan Papua Barat. Terdapat indikasi perlakuan penyiksaan dan ill treatment terkait kasus makar terutama ketika mereka melakukan demonstrasi dan menyatakan pendapat.

Lebih lanjut, Amiruddin memaparkan sejatinya terdapat mekanisme internasional dalam pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi. Mekanisme tersebut telah diatur dalam Optional Protocol dari CAT (OPCAT). Namun hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi mekanisme tersebut. 

“Indonesia sudah menjadi anggota Dewan HAM PBB namun belum memiliki mekanisme yang efektif,” tambahnya.

Supaya isu terus bergulir dan ditindaklanjuti, lima lembaga negara yang terdiri dari Komnas HAM RI, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sepakat untuk mengembangkan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan.

Sinergi ini kemudian disebut Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dengan mengacu pada OPCAT.

OPCAT sendiri hadir untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan UNCAT dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional. 

OPCAT bertujuan mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat-tempat penahanan di dalam yurisdiksi dan kendali dari negara peserta dan, atas dasar kunjungan-kunjungan ini, memberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli-ahli nasional maupun internasional kepada pihak-pihak berwenang dari negara peserta mengenai cara dan langkah-langkah pencegahan penyiksaan.

Pentingnya OPCAT tersebut, mendorong lima lembaga tadi mengajak berbagai pihak untuk meratifikasi OPCAT. “Kemenlu, Badan Legislasi DPR RI ataupun Pimpinan Komisi I bisa mengambil inisiatif untuk meratifikasi OPCAT,” tegas Amir.

Selain itu, ia juga mengajak berbagai pihak untuk berdialog sebagai upaya pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi. “Kita perlu melakukan dialog dengan berbagai pihak seperti Kemenkumham, polisi untuk membahas gagasan terkait mekanisme pencegahan terjadinya penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi,” jelas Amir.

Ia juga menekankan bahwa upaya mencegah terjadinya penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi hanya bisa dicapai bersama-sama. (AM/IW)

Short link