Kabar Latuharhary

Kampanye Mekanisme Anti Penyiksaan melalui Dialog Publik

Kabar Latuharhary –  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) bersama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (National Preventive Mechanism) kembali menggelar Dialog Publik untuk memperingati hari Anti Penyiksaan Internasional melalui aplikasi Zoom Meeting, Kamis (25/06/2020). Dialog Publik hari pertama ini merupakan rangkaian dari dialog publik yang akan digelar selama 2 (dua) hari berturut-turut dan merupakan bagian dari kampanye 5 (lima) Lembaga Negara untuk mensosialisasikan mekanisme anti penyiksaan.

Dialog Publik bertajuk “Mekanisme Penangkapan dan Penahanan Tahanan Perempuan di Papua: Sebuah Tinjauan” menghadirkan beberapa narasumber, seperti Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, aktivis perempuan Papua, Arina Elopere dan tim pendamping advokasi, Pdt. Suarbudaya Rahadian. Indria Fernida dari Asia Justice and Rights (AJAR) yang hadir sebagai moderator menegaskan bahwa penting bagi aparat penegak hukum untuk memiliki gender perspective. Ia menambahkan, setidaknya pasca aksi rasisme di Papua pada 2019 ada 4 (empat) tahanan perempuan pembela HAM yang mengalami perlakuan sewenang-wenang di tahanan yang mengarah pada kekerasan fisik.

Arina menyampaikan pengalamannya pada saat ditangkap dan berada di tahanan yang dirasa sangat tidak wajar. Arina juga menyampaikan harapannya kepada negara untuk lebih memperhatikan orang-orang yang ada di tahanan dan orang-orang miskin dimanapun. Ia pun berharap agar para mahasiswa Papua dimanapun berada bisa bebas dalam hal apapun dan damai dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang mempunyai martabat dan nilai.

“Saya bersama 2 (dua) teman ditangkap dan ditahan dengan tidak wajar sekali, tanpa surat penangkapan dan sebagainya. HP kami langsung disita dan mulut kami ditutup tanpa ada penjelasan apapun. Kami kemudian dibawa ke Makobrimob untuk BAP. Padahal, kami turun aksi di depan Istana itu untuk membela hak asasi manusia dan menolak rasisme yang terjadi,” jelas Arina.

Pdt. Suarbudaya sebagai tim pendamping advokasi menyampaikan bahwa ada banyak hak yang tidak dipenuhi selama aktivis pembela HAM Papua ini ditahan. Perlakuan yang didapatkan di dalam tahanan seperti halnya mereka ditempatkan pada ruang tahanan isolasi yang sangat kecil, hanya boleh dikunjungi 2 (dua) kali dalam seminggu, serta tidak diberikan informasi sudah sampai mana proses hukum terhadap mereka.

Mariana menyampaikan Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan ke sejumlah tempat tahanan seperti di Rutan Pondok Bambu dan Rutan Manokwari. Komnas Perempuan memastikan apakah ada penyiksaan (ill treatment) atau tidak kepada tahanan perempuan yang merupakan aktivis pembela HAM Papua dengan melihat mulai dari proses penangkapan, proses penahanan, sampai dengan proses reintegrasi (pasca penahanan) dan pemulihan. “Kami mendengarkan kronologi dari tahanan perempuan Papua bahwa mereka mengalami intimidasi dan bahkan yang tidak ditangkap pun pada akhirnya mengalami trauma,” ungkap Mariana.

Mariana kemudian menjelaskan terkait hak-hak terduga yang perlu diperhatikan agar aparat penyidik tidak sewenang-wenang dalam melakukan tindakan. Hak-hak tersebut antara lain hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan; hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan kepadanya, tempat ia akan diperiksa atau ditahan, serta bukti awal tuduhan; hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah; hak untuk memperoleh pengakuan yang manusiawi dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah; hak untuk mendapat juru bahasa isyarat kepada tahanan disabilitas; hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik; hak untuk didampingi penasihat hukum yang dipilih; hak untuk mendapatkan penasehat hukum secara cuma-cuma; hak untuk mengungkapkan penapat tanpa tekanan; serta hak untuk tetap diam.

“Pada hari anti penyiksaan ini kami menegaskan pentingnya untuk protokol segera diratifikasi, sebab fenomena penyiksaan juga berdampak pada perempuan, terutama pada kondisi isu politik yang sangat panas seperti konflik di Aceh dan Ambon pada tahun 1990an dan Mei 1998 yang sampai sekarang belum bisa diperjelas dan diterapkan,” pungkas Mariana.

Maneger memberikan apresiasi terhadap terselenggaranya dialog publik kali ini. Ia kemudian memaparkan mengenai perlindungan dan pemulihan korban penyiksaan secara jelas dan terperinci mulai dari definisi penyiksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 dan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, data permohonan perlindungan penyiksaan oleh LPSK 2 (dua) tahun terakhir, hak korban tindak pidana penyiksaan, sampai dengan tantangan perlindungan dan pemenuhan hak korban tindak pidana penyiksaan. 

“Ada beberapa catatan terkait tindak pidana penyiksaan, yaitu soal perspektif dimana masih banyak penegak hukum yang perspektifnya tidak clear soal penyiksaan dengan menganggapnya hal yang lumrah. Selain itu soal metodologi yang masih berorientasi pada pengakuan pelaku dan mengejar pengakuan dengan melakukan kekerasan. Serta soal resistensi, kepercayaan dan keberanian publik juga regulasi yang masih menjadi problem kita bersama,” tambah Maneger.

Maneger menutup pemaparannya dengan menyampaikan bahwa kurva penyiksaan masih luar biasa tinggi di Indonesia, namun masyarakat yang menjadi korban belum tentu mau untuk melapor karena adanya rasa takut dan ketidak percayaan dari korban sendiri. Oleh karenanya, LPSK membuat terobosan dengan melakukan pendekatan proaktif yaitu mendatangi korban untuk kemudian mengajukan permohonan.

Dialog Publik masih akan dilaksanakan pada hari kedua, tepat pada peringatan hari Anti Kekerasan Internasional 26 Juni dengan mengangkat tema “Penangkapan dan Penahanan Anak dalam Demonstrasi: Sebuah Tinjauan” yang menghadirkan Komisioner KPAI, Putu Elvina, Ketua Bawaslu RI, Abhan, Kasie Layanan Rehsos BRSAMPK Handayani Kemensos RI, Bambang Wibowo serta perwakilan Bareksrim Polri sebagai narasumber. (Utari/LY/RPS)

Short link