Kabar Latuharhary

Menarasikan HAM lewat Musik

Kabar latuharhary – Komnas HAM melalui Bagian Dukungan Penyuluhan HAM menyelenggarakan Diskusi Tanggap Rasa Seri 2 secara online, dengan mengusung tema “Diskusi Tanggap Rasa lewat Nada: Musik dalam Perjuangan Peradaban HAM” pada Senin (22/06/2020). Kegiatan ini demi mengembalikan ingatan masyarakat dan pemerintah terkait persoalan HAM yang belum terselesaikan, diharapkan dengan menarasikan nilai-nilai HAM akan lebih populer melalui media musik dan menyebarluaskan wawasan terkait HAM.

Musik, seni dan budaya memegang peranan penting untuk hak asasi manusia. HAM dapat merefleksikan kondisi kebutuhan manusia, khususnya apabila ada ketidakadilan dan pengekangan terhadap hak untuk berekspresi. Demikian disampaikan oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara ketika menjadi narasumber diskusi.

“Musik dapat menjembatani berbagai hal, dan musik sasarannya pun bisa siapa saja. Selain itu, HAM bukan hanya milik aktivis, seniman, atau Komnas HAM saja. Tetapi, HAM milik kita semua,” ucap Beka

Diskusi Tanggap Rasa lewat Nada, lanjut Beka merupakan salah satu rangkaian Kampanye HAM yang bertajuk “Festival Tanggap Rasa, Apa Rasamu terhadap Rasaku?”. Festival Tanggap Rasa dimaknai sebagai ruang berbagai rasa untuk membangun rasa empati terhadap korban. Baik korban pelanggaran HAM yang berat, korban pelecehan seksual dan korban pelanggaran HAM lainnya. Berbicara mengenai Diskusi Tanggap Rasa lewat Nada, menurut Beka musik merupakan bagian penting dari hak asasi manusia, karena HAM tidak hanya terkait persoalan kekerasan atau penculikan saja, tetapi menyangkut ketidakadilan, melalui musik, dapat menggugah rasa para pendengar.

“Kaitan antara HAM dengan musik tertuang pada pasal 13 UU No 39/1999. Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia,” ujar Beka

Beka menjelaskan bahwa musik dan budaya mendapat tempat tersendiri di dalam Konvenan Internasional, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Salah satunya tertuang pada pasal 15 yang menegaskan bahwa negara mengakui hak setiap orang untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan, menikmati manfaat kemajuan ilmiah dan penerapannya, memperoleh perlindungan rohani dan materi atas hasil produksi ilmiah, sastra dan seni karyanya.

“Ketika berbicara mengenai ekspresi seni, musik dan budaya adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Dan apabila berbicara hak konstitusional adalah salah satu hak yang dilindungi, dihormati dan wajib dipenuhi karena amanat Undang-undang Dasar,” jelas Beka.

Selain memaparkan terkait hak kebebasan berekspresi melalui musik, Beka juga menjelaskan mengenai sejarah peradaban HAM dan musik. Menurutnya, hal ini dapat terlihat dari karya-karya yang diciptakan berdasarkan keresahan para musisi di eranya masing-masing.

“Tahun 60-an merupakan salah satu kebangkitan musik ketika menjadi bahasa perjuangan, bahasa pemberontakan. Dalam sejarah musik, mulai dari British Invation artinya band-band Inggris mulai invansi ke Amerika yang sisi industrinya lebih maju. Ada juga penanda utama generasi 60-70 adalah Flower Generation, lahir sebagai respon terhadap invansi Amerika ke Vietnam. Dan reaksi terhadap perang, rasisme maupun ancaman perang nuklir. Musiknya membawa pesan utama perdamaian, solidaritas dan semangat,” ujar Beka.

Perlu disampaikan, Diskusi kali ini menarasikan perjuangan HAM dalam lirik lagu, menjelaskan narasi HAM dalam sejarah musik Indonesia, bagaimana hak-hak seniman dalam berekspresi dan berpendapat lewat musik, bagaimana kontekstualisasi peradaban HAM di Indonesia lewat musik.  Hadir beberapa narasumber lainnya yakni Pianis dan Komponis, Ananda Sukarlan, Dosen FH UNSOED, Manunggal Kusuma Wardaya, dan Musisi Gusti Arirang. Diskusi dipandu oleh dua anak muda yang menjadi pekerja di Komnas HAM yaitu Rebeca dan Radhia.

Pada kesempatan yang sama, Manunggal menjelaskan terkait sejarah narasi HAM yang tertuang dalam musik Indonesia, salah satunya ialah album Koes Bersaudara tahun 1967 dengan sampul berwarna hitam. Menurutnya, album ini merupakan bentuk protes atas pemenjaraan Koes Bersaudara. Bahwa pada era tersebut, orang-orang dapat dengan mudah dimasukkan ke penjara tanpa proses peradilan, yang menentukan hanya kebijakan politik dan penguasa.

“Di luar kritik terhadap negara, ada isu HAM lainnya di album Koes Bersaudara Guilties. Yakni kritik peradilan, yang juga merupakan perjuangan HAM. Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang fair dan bebas. Selain itu, pada tahun 90-an ada band Absolute Defiance, salah satu narasi yang dituangkan pada album mereka ialah kasus 65. Artinya, masyarakat sipil juga memiliki kesadaran untuk menyebarkan atau membangkitkan kesadaran masyarakat terkait hak asasi manusia. Tema HAM tidak selalu terkait persoalan politik, tetapi juga menyangkut sosial dan budaya,” jelas Manunggal.

Sebagai informasi, selain menggunakan aplikasi Zoom Webinar, Diskusi Tanggap Rasa lewat Nada; Musik dalam Perjuangan Peradaban HAM ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Komnas HAM. Di akhir diskusi, acara ditutup dengan live performance dari Gusti Arirang yang membawakan lagu berjudul Sintas. Lagu tersebut menarasikan kisah bangkitnya para penyintas konflik yang berkontribusi langsung pada kemanusiaan di sekitarnya. (Radhia/LY/RPS)

Short link