Kabar Latuharhary

Pilkada dalam Perspektif HAM

Kabar Latuharhary – “Dari awal pandemi Covid-19 merebak, Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi untuk menunda pelaksanaan Pilkada sampai dengan kondisi benar-benar aman. Ketika diputuskan Pilkada ditunda atau sudah ditetapkan pelaksanaannya Desember mendatang, ada syarat yang harus dilakukan. Tidak hanya soal penggunaan APD untuk penyelenggara pemilu, tetapi protokol kesehatannya harus diterapkan dengan serius,”ucap Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.

Beka juga menyampaikan latar belakang mengapa Komnas HAM ikut serta dalam pemantauan Pilkada 2020. Pertama, sebagai upaya penghormatan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia. Kedua karena Pilkada melibatkan banyak pihak, mulai dari pemilih, hingga penyelenggara di 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Selain itu, pilkada juga diselenggarakan oleh beberapa provinsi yang memiliki jumlah penduduk banyak.

Lebih lanjut Beka menjelaskan bahwa “terdapat empat (4) prinsip penghormatan HAM dalam pelaksanaan Pilkada. Pertama terlaksananya Pemilu atau Pilkada yang bebas, kedua terlaksana secara berkeadilan, ketiga terselenggaranya Pilkada secara berkala, dan pelaksanaan Pilkada yang tidak manipulatif,” ungkap Beka ketika menjadi narasumber diskusi online yang diselenggarakan oleh Bawaslu Jawa Timur dengan tema “Kaum Miskin Kota dalam Pusaran Politik Uang” pada Rabu (8/7/2020).

Beka menjelaskan bahwa di dalam empat prinsip hak asasi manusia tersebut terdapat beberapa indikator penentu dalam pelaksaan pilkada. Untuk prinsip pertama terkait pemilu yang bebas ada empat indikator di dalamnya, meliputi kebebasan untuk memilih, bebas dari paksaan dan intimidasi, adanya perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, tersedianya prosedur hukum yang independen untuk memproses pengaduan warga, Sedangkan prinsip kedua terkait terlaksana secara berkeadilan, terdapat dua indikator penting, yakni imparsialitas, dan profesionalitas penyelenggara Pilkada.

Untuk prinsip lainnya terkait Pilkada secara berkala serta pelaksanaan yang tidak manipulatif, terdapat beberapa indikator. Pertama, diselenggarakan secara periodik, terjadwal dan memiliki kepastian waktu, serta tidak terjadi penundaan jadwal. Kecuali, terjadi peristiwa tertentu yang tidak dapat dihindari seperti pandemi Covid-19. Indikator selanjutnya ialah memberikan jaminan bagi pemenuhan hak asasi manusia dalam setiap tahapan Pilkada.

Masih kata Beka, beberapa fokus pemantauan Komnas HAM ketika pilkada 2020 ialah potensi merebaknya hate speech yang dianggap menjadi salah satu metode kampanye, khususnya di media sosial. Pemantauan lain terkait mencuatnya gejala politik oligarki dalam proses pencalonan Pilkada.  Selain itu, pada masa pandemi Covid-19 kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada bertambah banyak, khususnya terkait kelompok rentan  dan minoritas dalam proses Pilkada masih terabaikan.

Hate speech atau ujaran kebencian bukan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diakui atau dilindungi sebagai bagian dari HAM. Karena, orientasi atau niatnya adalah menurunkan harkat dan martabat manusia. ” tutur Beka.

Berbicara mengenai politik uang, Komnas HAM menegaskan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran Pemilu, khususnya selama masa kampanye berlangsung. Politik uang juga melanggar hak asasi manusia, karena memanipulasi pilihan hati nurani demi menggalang materi. Sehingga, hal tersebut dapat mencederai proses politik yang demokratis. Salah satu faktor terjadinya politik uang karena pembiayaan Pilkada yang tergolong besar.

Pada kesempatan kali ini, turut hadir narasumber lainnya yakni Pimpinan KPK, Dr. Nurul Ghufron,S.H., M.H, Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK, Wawan Wardiana. Dan sebagai key note speech adalah Anggota Bawaslu RI, M. Afifudin.

Wawan Wardiana memaparkan beberapa hasil survei partisipasi masyarakat saat Pemilu 2014 lalu. Menurutnya, masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup baik terkait pemberian-pemberian dari calon Kepala Daerah, calon DPR atau DPRD. Selain itu, Wawan menuturkan bahwa masih banyak orang menganggap bahwa pemberian uang tersebut merupakan tindakan yang baik.

“Ada dua kota besar yang presentasenya tidak sampai 70 persen menganggap bahwa pemberian uang merupakan tindakan yang tidak baik. Dan setelah kami rinci kembali, orang-orang yang menganggap tindakan tersebut baik adalah masyarakat dengan pendidikan yang tinggi,” ucap Wawan (Radhia/LY/RPS)

Short link