Kabar Latuharhary

Permasalahan Papua Sangat Kompleks

Kabar Latuharhary - Permasalahan yang terjadi di Papua sampai saat ini tidak dapat dilihat dari satu dimensi saja, apalagi hanya dilihat dari dimensi politik. Permasalahan yang ada sudah sangat kompleks. “Bukan hanya soal ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan, dan akses layanan, namun juga terkait bagaimana penegakan hukum yang dijalankan di Papua,” tegas Beka Ulung Hapsara, saat menjadi pembicara dalam Webinar Papua Strategic Forum #5, Senin (20/07/2020).

Webinar bertajuk “Urgensi Pembentukan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua” digelar hasil kerja sama Gugus Tugas Papua dengan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama Universitas Gajah Mada. Webinar kali ini menghadirkan pembicara lainnya, seperti Latifah Arum Siregar (Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua), Dr. Michael Manufandu (Pamong Papua dan Duta Besar Senior), Victor Mambor (Jurnalis Senior Papua) dan Dr. Gabriel Lele (Peneliti Gugus Tugas Papua UGM).

Beka memulai pemaparannya dengan menjelaskan pelanggaran HAM yang berat, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 18 (1) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat.

Komnas HAM telah menyelesaikan 12 (dua belas) berkas penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, salah satunya yang terbaru Peristiwa Paniai. Berkas penyelidikan Peristiwa Paniai telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada Februari 2020. Namun, berkas penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang Berat oleh Komnas HAM tidak pernah sampai ke tahap penyidikan dengan alasan persyaratan formil dan materiil belum lengkap. Baru 4 (empat) kasus yang diselidiki Komnas HAM yang dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, seperti Abepura, Wasior dan Wamena, serta Peristiwa Paniai.

Pada 11 Desember 2018 Komnas HAM telah menyampaikan rekomendasi kepada Presiden RI dan lembaga lainnya, agar Pelanggaran HAM yang Berat segera tuntas. Dalam rekomendasinya, Komnas HAM meminta Presiden untuk segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya melakukan penyidikan atas berkas yang telah diselesaikan. Selain itu, Presiden dapat menggunakan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, terkait penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang.

“Semakin lama penyelesaian dilakukan, maka peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat semakin sulit diselesaikan dan bisa mengabaikan hak-hak pemulihan korban, terutama perempuan dan anak,” tegas Beka.

Lebih lanjut, Beka menyampaikan beberapa catatan terkait KKR Papua. Salah satu tugas dari KKR Papua adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua, serta merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Papua. Terkait mandat dan kewenangan KKR Papua, Komnas HAM sudah mulai berproses membantu mahasiswa Universitas Cendrawasih yang ditugaskan oleh Gubernur untuk menyuarakan KKR Papua, namun prosesnya berhenti karena berbagai persoalan.

Catatan lain yang menjadi Pekerjaan Rumah bagi KKR Papua terkait perumusan mekanisme dan anggaran untuk kompensasi, rehabilitasi dan restitusi bagi korban dari pelanggaran HAM yang berat. “Yang menjadi poin utama adalah harus ada jaminan agar peristiwa pelanggaran HAM yang berat tidak terulang kembali di kemudian hari,” pungkas Beka. (Utari/LY/RPS)

Short link