Kabar Latuharhary

Mencari Solusi Statelesness di Sabah, Komnas HAM, SUHAKAM, dan CHRP Tandatangani MoU

Latuharhary- Komnas HAM menandatangani nota kesepahaman bersama (Memorandum of Understanding/MoU) Statelessness Issue in Sabah dengan Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM) dan Committee for Human Rights in the Philippines (CHRP) untuk mendorong penanganan dan penyelesaian kasus orang-orang tanpa kewarganegaan (statelessness) di Sabah Malaysia, Jumat (24/7/2020).

Untuk pertama kalinya, ketiga NHRI melakukan penandatanganan secara virtual karena pandemi COVID-19. Keterbatasan pertemuan antara pihak tersebut tidak mengurangi kekhidmatan acara seremonial. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, SUHAKAM Chairman Tan Sri Othman Hashim,  Komisioner SUHAKAM Jerald Joseph, dan Komisioner CHRP Karen Gomez-Dumpit menjalankan prosesi dengan tertib disaksikan para komisioner lainnya, pejabat struktural, dan staf masing-masing NHRI.


Di antara 45 partisipan seremonial, nampak hadir Wakil Ketua Eksternal Amiruddin,  Komisioner Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga, Kabiro Perencanaan, Pengawasan Internal, dan Kerjasama Esrom Hamonangan Panjaitan, Kabiro Dukungan Penegakan HAM Gatot Ristanto, dan Kabiro Dukungan Pemajuan HAM Andante Widi Arundhati. 

MoU kali ini menyertakan peran CHRP sebagai penandatanganan bersama Komnas HAM dan SUHAKAM. Penandatanganan sebelumnya pada 23 April 2019, CHRP menjadi observer. 

“Tiga NHRI akan bekerjasama dengan pemerintah masing-masing dalam masalah yang berkaitan dengan orang tanpa kewarganegaraan di Sabah, serta melakukan penelitian bersama tentang aspek geopolitik dan historis masalah tersebut,” jelas Taufan dalam sambutannya yang disampaikan di Kantor Komnas HAM.


Ia menyambut baik inisiatif SUHAKAM dan CHRP  dalam upaya bersama  untuk mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Peran NHRI di kawasan Asia Ternggara, menurutnya, penting untuk berbagi informasi dalam database tentang kasus tersebut.

“Kami (tiga NHRI) dapat memberikan rekomendasi dari perspektif hak asasi manusia secara efektif. Kemudian, akan terlibat dalam menyusun rencana aksi 2019 hingga 2021 melalui kolaborasi dengan isu-isu yang sedang ditinjau, antara lain, dokumentasi untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan, pekerja migran serta perdagangan manusia, dan eksploitasi,” tegas Taufan.

Sebagai bagian dari SEANF, Komnas HAM turut memerhatikan masalah kebangsaan, kewarganegaraan, dan migrasi. Komnas HAM berharap MoU yang berlaku selama 18 bulan ini akan membuka jalan untuk kerja sama lintas batas dengan NHRI lain, serta lembaga-lembaga lain yang menangani masalah orang tanpa kewarganegaraan (stateless person).

SUHAKAM Chairman Tan Sri Othman Hashim berharap Action Plan 2021 yang disusun tiga NHRI ini bisa diimplementasikan pada 18 bulan mendatang. Selain ketiga NHRI, SUHAKAM mencoba berkomunikasi dengan mitra kerja lainnya untuk bersama mendorong perubahan kebijakan pemerintah terhadap stateless person. 

Komisioner CHRP Karen Gomez-Dumpit sempat menyinggung upaya membantu dokumentasi kewarganegaaran lantaran hal tersebut menjadi kebutuhan mendasar.  Pihaknya pun fokus mengidentifikasi berbagai kasus di lintas batas negara, terutama di Sabah dengan mendekati beberapa komunitas. Ia pun berharap MoU tripartite ini akan membawa dampak besar bagi masyarakat dan aksi progresif di kalangan pembuat kebijakan. 

Stateless person terdapat orang-orang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara mana pun di bawah hukumnya. Dalam beberapa kondisi, terutama di lintas batas negara, mereka diidentifikasi sebagai orang tanpa kewarganegaraan yang tidak memiliki dokumen identitas resmi atau orang yang tidak berdokumen;

PBB menganggap seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan dari negara mana pun  berjumlah sekitar 10 juta orang di seluruh dunia. Sebagian besar dari mereka adalah kelompok minoritas yang tinggal di berbagai negara.

Di wilayah Asia Tenggara, Sabah memiliki sejarah panjang tentang masalah kaum migran. Mereka terklasifikasi sebagai migran ilegal Indonesia dan Filipina, dan telah tinggal di Sabah selama lima dekade, suku asli, anak-anak dari hubungan gelap, anak dari hasil perkawinan yang tidak diakui, anak dengan dokumen orang tua yang tidak lengkap atau karena mereka telah ditinggalkan oleh orang tua mereka.

Posisi Indonesia telah meratifikasi (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), artinya negara melindungi hak setiap orang untuk kembali ke negaranya sendiri. Namun, Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1961 tentang Pengurangan Kewarganegaraan, aturan pengaturan instrumen utama untuk penarikan kewarganegaraan dan hak-hak orang tanpa kewarganegaraan.

“Setelah penandatanganan ini, kami akan melaksanakan rencana aksi, tentang bagaimana untuk bergerak maju dan untuk tetap berpandangan positif bagi pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Filipina untuk memastikan bahwa hak asasi manusia yang mendasar dari orang-orang tanpa kewarganegaraan dihormati dan dilindungi. Ini termasuk hak untuk mengakses suaka dan keadilan, kebebasan bergerak dan kebebasan, hak untuk bekerja, pendidikan, dan perawatan kesehatan,” ulas Taufan. (IW)

Short link