Kabar Latuharhary

Kerentanan Jurnalis sebagai Pembela HAM

Kabar Latuharhary – Dalam perspektif HAM, wartawan maupun profesi yang berkaitan dengan pemberitaan tentang Hak Asasi Manusia karena tugasnya tersebut, maka mereka dapat dikategorikan sebagai pembela HAM. Oleh karena itu, kekerasan yang menyerang profesi jurnalis dan penggiat media, juga merupakan pencideraan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Demikian disampaikan Komisioner Mediasi Komnas HAM RI, Hairansyah, saat menjadi narasumber sebuah acara Focus Group Discussion (FGD) Online. FGD “Perlindungan Jurnalis” dengan tema “Peta Situasi Perlindungan Jurnalis sebagai Aktor Demokrasi HAM” yang diselenggarakan oleh Tempo Institute, Rabu (05/08/2020).

Hairansyah mengungkapkan bahwa baik instrumen HAM nasional maupun internasional, sudah memberikan pernyataan yang jelas soal pembela HAM. “Secara internasional sudah diakui dan dipertegas di nasional dengan Undang – Undang HAM No. 39 Tahun 1999 yang juga mengatur tentang partisipasi publik/masyarakat. Siapapun yang berpartisipasi dalam penyampaian informasi tentang HAM dan melakukan pembelaan terhadap warga negara yang hak asasinya dilanggar, maka dia dapat dikategorikan sebagai pembela HAM”, ungkapnya.

Hairansyah menekankan bahwa yang melekat pada seorang jurnalis itu, tidak hanya profesinya saja, tetapi juga segala hal yang diberitakan atau diinformasikan. “Misalnya, dalam sebuah peristiwa politik yang memunculkan kasus demonstrasi, itu biasanya banyak sekali laporan kekerasan yang dialami oleh kawan-kawan jurnalis. Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa profesi yang rentan ini terkait juga dengan pemberitaan/informasi yang dia lakukan”, tegas Hairansyah. Bentuk kekerasan yang dialami para jurnalis juga bisa bervariasi. Bisa berupa tindak kekerasan secara fisik, psikis, intimidasi ataupun peretasan akun– akun media sosial yang dimiliki oleh para jurnalis.



Hal yang sangat disayangkan menurut Hairansyah, jika kekerasan yang dialami oleh para jurnalis adalah menyangkut peristiwa politik. “Seringkali ketika peristiwa politiknya itu meredup, maka dorongan untuk menginvestigasi kasusnya, biasanya juga ikut hilang. Hal ini yang kadangkala membuat proses penyelesaian kekerasan terhadap jurnalis yang berkaitan dengan kasus politik tertentu menjadi tidak tuntas”, sesalnya.

Di sisi lain dalam beberapa kasus, Hairansyah menilai, penyampaian informasi itu bagian dari hak asasi manusia dan memiliki peran yang sangat strategis dalam konteks HAM itu sendiri. “Jika ada proses pelanggaran HAM misalnya, kemudian tidak ada yang memberitakan, hal tersebut tidak akan muncul kepermukaan. Terlebih lagi tidak akan ada juga gerakan publik untuk menggalang dukungan”, nilainya. Menurutnya, ketika ada kasus, suatu pihak melakukan tindakan pelanggaran HAM tertentu kepada kelompok masyarakat, kemudian diberitakan, maka ada bargaining position terhadap kasus tersebut. Para pihak yang tadinya melakukan kekerasan, bisa mundur atau memperlemah tindakannya dan seterusnya.

Dalam konteks demokrasi, hal tersebut menjadi penting karena menurut Hairansyah, demokrasi yang ada saat ini, tidak mungkin ada, jika tidak adanya peran dari seorang jurnalis. “Jurnalis akan memberitakan informasi – informasi secara masif yang kemudian menginspirasi banyak orang untuk memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam demokrasi yang terjadi”, jelasnya.

Demikian juga dengan peristiwa pelanggaran HAM, akan sangat sulit memunculkan dukungan publik, jika tidak disertai peran dari seorang jurnalis. “Prinsipnya, pelanggaran terhadap jurnalis dan penggiat media, itu adalah kekerasan yang juga menyerang demokrasi dan hak asasi manusia”, pungkasnya. (Niken/Ibn/RPS)

Foto : Humas Komnas HAM RI
Short link