Kabar Latuharhary

Grasi sebagai Wajah Politik Kemanusiaan

Kabar Latuharhary - Pemberian grasi kepada terpidana hukuman mati diatur pada Konstitusi Republik Indonesia dan merupakan hak Presiden. Dalam pemberian grasi, ada 1 (satu) klausul yang menyatakan bahwa grasi bisa diberikan atas dasar alasan kemanusiaan. Oleh karena itu, Presiden bisa menggunakan hak prerogatifnya untuk politik kenegaraan, dengan mulai menghapus hukuman mati dan melakukan moratorium. Grasi harus diletakkan sebagai wajah politik kemanusiaan Presiden, salah satunya dengan melihat deret tunggu terpidana mati. Ketika ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi, salah satu yang harus dicek adalah sudah berapa lama masa tunggu terpidana tersebut.

Berikut disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI, M. Choirul Anam saat menjadi narasumber dalam Peluncuran Riset dan Diskusi Problematika Grasi Hukuman Mati, Rabu (07/10/2020). Dalam diskusi yang dilaksanakan secara daring tersebut, hadir pula sebagai narasumber, Public Interest Lawyer Network, Erwin Natosmal Oemar, Anggota Komisi II DPR RI, Taufik Basari dan Peneliti Imparsial, Evitarossi Budiawan.

“Presiden bisa menggunakan RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana) untuk mulai menghapus hukuman mati. Salah satu pasal di dalam RKUHP memberikan peluang untuk melakukan penilaian kembali apakah hukuman mati masih tetap diterapkan atau tidak,” ungkap Anam.

Komnas HAM RI telah melakukan riset terkait deret tunggu terpidana mati. Dari riset yang dilakukan ditemukan bahwa masa tunggu 10 (sepuluh) tahun dirasa masih terlalu lama untuk terpidana mati. Ketika sudah menginjak 5 (lima) tahun sudah akan terlihat apakah terpidana tersebut ada perubahan atau tidak. Data per 15 Oktober 2019, ada 271 (dua ratus tujuh puluh satu) terpidana yang sedang menunggu hukuman mati. Bahkan ada yang masa tunggunya sudah lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Salah satu tafsir terhadap apa yang disebut nilai kemanusiaan yaitu bisa menggunakan deret tunggu (5 - 10 tahun). Sisi kemanusiaan tidak hanya dimaknai dari satu sisi saja seperti alasan kesehatan dan lain-lain. Namun di sisi kemanusiaan harus pula dimaknai bahwa ada perubahan pada seorang terpidana tersebut ke arah lebih baik.

“Kebijakan terkait deret tunggu menjadi satu hal yang paling penting dan tak terbantahkan. Di Negara  berbasis hukum dengan dasar Negara Pancasila yang meletakkan sisi kemanusiaan sebagai dasar negara harus senantiasa melihatnya. Minimal hal tersebut bisa diperhatikan sebagai ekspresi politik kenegaraan bahwa kita semua menyelenggarakan negara dalam basis kemanusiaan,” pungkas Anam.

Erwin menyampaikan bahwa grasi menjadi penting karena berkaitan dengan hak hidup seseorang. "Walaupun berhubungan dengan hak hidup seseorang, dalam konteks grasi kami melihat tidak ada kepastian hukum, terdapat disparitas putusan grasi antara rekomendasi MA dengan keputusan Presiden serta tidak ada standar dalam memutuskan grasi," ungkapnya.

Lebih lanjut, Evitarossi menyampaikan di Negara hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi sesuatu yang sangat penting. Tim peneliti menemukan bahwa dalam paradigma masyarakat selama ini grasi adalah anugerah yang diberikan oleh Negara. Ia menambahkan walaupun grasi merupakan hak prerogatif Presiden, namun dirasa perlu ada aturan yang jelas.

"Sekarang ini, grasi seharusnya sudah tidak dilihat lagi sebagai anugerah seperti di abad pertengahan dulu, namun harus dilihat sebagai hak terpidana. Melihat hal tersebut, seharusnya Presiden bisa memberikan grasi tanpa ada permohonan pada kasus terpidana mati," jelasnya.

Tobas, sapaan akrab Taufik Basari menyampaikan bahwa pada isu grasi dan hukuman mati, ada beberapa persoalan yang dihadapi Negara. “Persoalan yang ada adalah perspektif publik dalam memandang bagaimana proses pemidanaan dilaksanakan. Saat ini sebagian besar dari publik melihat bahwa pemidanaan dilaksanakan untuk memberikan unsur jera, bukan bagaimana memulihkan keadaan sosial masyarakat. Masih ada semangat untuk menghukum seseorang agar jera,” ungkapnya.

Menurutnya, masyarakat harus diedukasi terlebih dahulu bagaimana konsep pemidanaan secara modern dengan konsep pemulihan (restoratif) dengan memperbaiki keadaan, korban, dan pelaku. Selain itu, harus menjadi perhatian bersama juga bagaimana untuk membangun perspektif publik dan meluruskan terkait hak-hak terpidana, apa grasi, apa tujuannya, dan lain-lain.

“Jika bisa disampaikan dalam permohonan grasi, nilai-nilai kemanusiaan semestinya yang menjadi pertimbangan kuat dari Presiden. Terkait perspektif yang ada pada masyarakat, harus ditemukan formula terbaik untuk membereskan persoalan ini. Bagaimana membuat masyarakat memberikan penghargaan terhadap hidup seseorang, sehingga apabila ada persoalan terkait mematikan seseorang dalam hal ini memutuskan hukuman mati, masyarakat menjadi merenung kenapa hidup seseorang bisa ditentukan oleh orang lain,” jelas Tobas.

Dijelaskannya pula bahwa saat ini sudah ada upaya-upaya tertentu terkait rumusan mengenai pidana mati, salah satunya di dalam RKUHP. Namun, memang perlu ada evaluasi pada beberapa pasalnya. Senada dengan Anam, Tobas pun menyampaikan terkait konsep masa percobaan pada terpidana mati. “Semakin pendek deret tunggu terpidana mati, maka akan semakin baik,” tegasnya. (Utari/ LY)

Short link