Kabar Latuharhary

Menyoal Pentingnya Deret Tunggu Terpidana Hukuman Mati

Kabar Latuharhary - Komnas HAM RI pada 2019 telah melakukan riset sederhana untuk memotret fenomena deret tunggu terpidana mati di Indonesia. “Sikap Komnas HAM mengharapkan adanya penghapusan hukuman mati. Namun, apabila setiap tahun diskusinya terkait penghapusan hukuman mati maka hal yang didiskusikan juga hanya akan seputar itu saja. Sehingga pada 2019, Komnas HAM mencoba untuk melihat dari sisi yang lain. Komnas HAM melihat ada beberapa langkah yang dirasa menunjukkan progress yang baik,” ungkap Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan M. Choirul Anam.

Dalam Webinar Peluncuran Laporan Hukuman Mati 2020: Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia yang dilaksanakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anam menyampaikan beberapa langkah positif yang terlihat. Salah satu langkah tersebut adalah adanya pembahasan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang membuka peluang untuk meninjau ulang pemidanaan untuk para terpidana mati.  

“Komnas HAM ingin memotret bagaimana kita cari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan hukuman mati. Tentu saja ini bukan menjadi standing yang ideal, namun bagi kami ini menjadi salah satu tahapan yang cukup penting,” tambah Anam.
 
Pada saat pelaksanaan riset, Komnas HAM RI bekerjasama dengan ICJR serta dibantu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Kemenkumham RI. Komnas HAM RI mendapatkan data tipologi masa tunggu terpidana mati yang bervariasi antara 5 sampai dengan 20 tahun. Melihat data tersebut, Komnas HAM RI melihat angka 5 (lima) tahun menjadi waktu yang tepat sebagai masa tunggu terpidana mati.

“Setelah melakukan riset di lapangan juga saran dari Ditjen PAS, untuk masa tunggu memang paling pas selama 5 (lima) tahun. Angka 5 (lima) tahun ini berasal dari pertimbangan proses dan skema pembinaan. Orang ketika dibina dengan skema Ditjen PAS, bisa dipastikan selama 5 (lima) tahun apakah orang tersebut berubah secara substansial, pura-pura berubah atau tidak ada perubahan,” jelas Anam.

Lebih lanjut, Anam menyampaikan pentingnya skema deret tunggu, yaitu sebagai peta kebijakan kenegaraan, bagaimana dalam memperlakukan hukuman mati. Grasi diatur pada konstitusi dan merupakan wajah politik konstitusional Presiden. Namun pasca amandemen, harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Deret tunggu juga bisa dijadikan salah satu pertimbangan utama Presiden soal sisi-sisi kemanusiaan apabila ada yang mengajukan grasi. Sisi kemanusiaan tidak hanya bisa dilihat dari kondisi kesehatan terpidana mati (sakit berat), tapi juga bisa dilihat dari seberapa lama terpidana menunggu eksekusi.

Politik hukuman mati di Indonesia menurut Anam mengalami pasang surut. Dijelaskan bahwa pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY), pernah ada politik moratorium sebagai salah satu diplomasi internasional terkait hak asasi manusia. Banyak yang mengapresiasi politik tersebut, yang diwujudkan dengan tidak melakukan eksekusi. Walaupun untuk proses hukumnya mulai dari kepolisian sampai hakim masih terjadi, akan tetapi angkanya turun. Politik moratorium pada masa itu tidak dinyatakan terbuka di dalam negeri, namun di pergaulan internasional dinyatakan sehingga mendapat apresiasi cukup besar.

Ada juga skema moratorium yang dilakukan secara tertutup pada era Presiden Jokowi. Akan tetapi, ketika mengambil politik moratorium beberapa Presiden memang tidak ada yang konsisten. Hal ini menjadi pasang surut dan tidak ajeg karena latar belakang kenapa orang dihukum masih menjadi perhatian penting.

”Misalnya masyarakat masih bilang, kalau korupsi ya dihukum mati saja atau teroris ya dihukum mati saja. Sehingga ketika isu itu naik, pengambil kebijakan tidak hanya mengambil aspek-aspek ideall dalam hak asasi manusia tapi juga mempertimbangkan dinamika politik yang ada di masyarakat,” kata Anam.

Di akhir pemaparannya, Anam menyebutkan bahwa konsistensi menjadi hal yang sangat penting dalam persoalan ini. Permasalahan hukuman mati merupakan salah satu hal yang mendapatkan respon sangat dinamis dari masyarakat. Bahkan secara politik pun juga sangat dinamis. Meski begitu, pada tren internasional hal ini sebenarnya lebih konsisten walaupun di beberapa negara juga mengalami hal yang sama. Tren internasional yaitu untuk penghapusan hukuman mati atau minimal politik moratorium.

“Salah satu jalan menuju kesana adalah perubahan penghukuman. Langkah positif telah dilakukan oleh tim yang merumuskan RKUHP, di mana pada drafnya sudah membuka peluang untuk        hal tersebut,” pungkas Anam. (Utari/ LY)

Short link