Kabar Latuharhary

Catatan terhadap UU 13 /1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

Kabar Latuharhary – Berdasarkan dari data PBB memperlihatkan betapa seriusnya persoalan lansia. Populasi lansia tidak hanya di Indonesia, tetapi, juga secara global meningkat dengan cukup drastis. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dinilai masih menimbulkan banyak persoalan. Terkait hal tersebut, perlu adanya Undang-undang baru yang mampu merespon perubahan masyarakat.

Demikian beberapa poin yang disampaikan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga saat menghadiri secara langsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR. RDP yang mengambil tema "Peran Panti, Komda, Komnas HAM dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia) dari Aspek Pelayanan, Sarana Prasarana dan Sumber Daya" (Selasa, 29/09/2020), diselenggarakan secara off line di Gedung Nusantara II dan secara on line melalui Zoom.

Sandra yang didampingi oleh peneliti Komnas HAM RI Yeni Rosdianti, pada kesempatan tersebut mengawali paparannya mengenai gambaran secara umum mengenai situasi Lansia. Sandra memaparkan bahwa jaminan kesehatan yang ada saat ini, ternyata belum menjangkau seluruh Lansia. Hanya sekitar tiga dari lima lansia yang telah memiliki jaminan kesehatan (69,69 persen). Selain itu, adanya prevalensi penyakit-penyakit kronis yang terjadi pada lansia. Program-program pelayanan dan pemberdayaan lansia seperti perawatan di rumah/home care, program Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT), pelayanan sosial kedaruratan bagi lansia, program family supportlansia, day care services, pengembangan kawasan ramah lansia, dan program lansia tangguh, belum menjangkau seluruh lansia. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana serta penelantaran lansia. Ada pula praktik-praktik diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung serta kekerasan mental/emosional (abuse) baik verbal maupun nonverbal.

Dalam cakupan tersebut, Sandra mengungkapkan bahwa Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 yang sejatinya mengatur tentang kesejahteraan Lansia, dinilai justru masih menimbulkan banyak persoalan. “Dua aspek penilaiannya adalah apakah UU ini masih relevan dengan perkembangan masyarakat? Dan apakah substansi UU ini menjamin perlindungan hak-hak lansia?” ungkap Sandra.



Menurut Sandra, permasalahan Undang-Undang Kesejahteraan Lansia tersebut diantaranya, masih menggunakan beberapa definisi lama dari Undang-undang Kesejahteraan Sosial Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang tersebut juga belum secara penuh menjamin hak-hak lansia. Selain itu, belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam menjamin hak-hak lansia. Belum optimalnya koordinasi antara pusat dan daerah dalam membangun program-program yang terintegrasi dan belum optimalnya fungsi Komisi Nasional Lansia dan Komisi Daerah Lansia.

“Bahkan, Komisi Lansia saat ini vakum. Selain itu, karena UU nya ditetapkan dibawah Kemensos, posisi independensi nya jadi pertanyaan besar. Kiranya kedepan, Komisi Lansia ini bisa independen dan di luar pemerintahan, sejajar dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI”, jelas Sandra.
Melihat kondisi tersebut, Sandra mengungkapkan bahwa perlu adanya Undang-undang baru yang mampu merespon perubahan masyarakat, serta mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI setelah tahun 1998. “Dalam prosesnya pun, harus dipastikan proses penyusunan RUU ini dilaksanakan secara transparan, melibatkan banyak tokoh, partisipatif, dokumennya terbuka, dan Inklusif”, pungkas Sandra. (Niken/Ibn)
Short link