Kabar Latuharhary

Menakar Perlindungan terhadap Pembela HAM dan Partisipasi Publik dalam Demokrasi

Kabar Latuharhary – Wahana Lingkungan Indonesi (WALHI) menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja merupakan dukungan pemerintah secara terbuka terhadap investor. Walhi khawatir isi omnibuslaw menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, kriminalisasi dan konflik terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup masih terus terjadi.

“Perlindungan terhadap pembela HAM dan partisipasi publik sangat penting menjadi bagian dalam demokrasi. Upaya ini dilakukan, untuk meminimalisir potensi terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” ujar  Komisioner Komnas HAM RI, Hairansyah, saat menjadi narasumber dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) pada Selasa (13/10/2020).

Dialog Publik itu juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Komisioner LPSK, Susilaningtias, Pengajar Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayat serta Moderator Diskusi, Sekar Banjaran Aji. Dialog Publik yang digelar secara daring itu mengangkat tema “Menakar Komitmen Perlindungan Negara bagi Pembela Lingkungan Hidup dan HAM”.

Hidayat mengatakan bahwa dalam UU Cipta Kerja terdapat dua hal yang secara langsung melanggengkan praktik oligarki dan korporasi. Pertama adanya impunitas dari korporasi yang melakukan pelanggaran hukum terkait lingkungan. “Dalam UU Cipta Kerja (investor) berpotensi untuk tidak dijerat secara hukum. Kejahatan-kejahatan itu justru bisa diputihkan,” ujarnya.

Faktor kedua adalah adanya pembatasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi itu meliputi keterlibatan dalam proses analisis dampak lingkungan (amdal) maupun konsultasi dalam proses tata ruang dan lainnya. “Bagian yang in idikurangi dalam UU Cipta Kerja,” lanjut Hidayati.

Terkait partisipasi masyarakat dalam hal ini pembela ham dan lingkungan hidup, Konstitusi memandatkan pemerintah untuk melindungi HAM seluruh warga negara. Pasal 66 No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Tapi praktiknya ketentuan ini masih menjadi perdebatan di kalangan aparat penegak hukum, sambung Hairansyah.

Herlambang mengamati bahwa tren yang dilakukan belakangan ini justru melemahkan penegakan HAM dan lingkungan hidup melalui regulasi. Penegakan hukum dalam kasus yang menimpa pembela HAM dan lingkungan hidup cenderung diskriminatif. Penegakan hukum lebih merefleksikan kepentingan korporasi dan pemilik modal yang berstandar draconian law, Jelasnya.

Menutup diskusi, Hairansyah mengatakan bahwa UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, belum memuat ketentuan yang menegaskan perlindungan terhadap pembela HAM. isu ini perlu menjadi perhatian apabila nantinya dilakukan revisi terhadap UU No. 39 Tahun 1999. Namun, melihat beberapa UU yang proses legislasinya  tidak sesuai harapan dan menimbulkan kekhawatiran, komnas HAM untuk saat ini enggan untuk mendorong revisi UU HAM. Pandemi Covid-19 juga diharapkan tidak dimanfaatkan untuk meminimalisir partisipasi publik dalam proses legislasi, pungkasnya. (Feri/LY)


Short link