Kabar Latuharhary

Catatan Kritis Komnas HAM terkait Permenkumham Nomor 34 tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/ Kota Peduli HAM

Kabar Latuharhary - Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara menyampaikan beberapa Catatan Kritis Komnas HAM terkait Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/ Kota Peduli HAM. Catatan kritis disampaikan saat menjadi pembicara dalam Virtual Meeting Pembahasan Instrumen Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya terkait Indeks Pembangunan HAM untuk Penilaian Kabupaten/ Kota Peduli HAM yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jum’at (16/10/2020).

Dalam pembukaannya, Beka menyampaikan bahwa Komnas HAM RI bersama dengan INFID bersama-sama meluncurkan kampanye peran Pemerintah Daerah dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Kampanye tersebut menjadi praktik baik karena semakin banyak Pemda yang telah menempatkan inisiatif Kabupaten/ Kota HAM dan memasukkan prinsip HAM dalam kerangka kerja Kabupaten/ Kotanya.

Beka menjelaskan setidaknya ada 8 (delapan) hal yang menjadi catatan Komnas HAM terkait Permenkumham tersebut. Pertama, secara umum dasar pembentukan dari Permenkumham Nomor 34 tahun 2016 dirasa sangat baik, sebagaimana tercantum dalam bagian menimbang yaitu meningkatkan kriteria penilaian terhadap kabupaten/ kota peduli HAM guna mewujudkan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM. Akan tetapi, perlu untuk dijelaskan pula terkait bagaimana prinsip-prinsip HAM dan kabupaten/ kota HAM terelaborasi lebih banyak dalam peraturan yang digunakan untuk menilai Kabupaten/ Kota. “Hal ini digunakan untuk memframing bagaimana kabupaten/ kota peduli HAM versi Kemenkumham agar intepretasinya tidak terlalu lebar,” jelas Beka.

Kedua, apabila dilihat pada dasar hukum yang dimuat dalam Permenkumham tersebut juga sudah cukup baik dengan memasukkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Namun apabila masih memungkinkan perlu meletakkan beberapa instrumen HAM PBB yang sudah diratifikasi karena instrumen tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan apabila membahas HAM di Indonesia.

Ketiga, dalam Pasal 2 Permenkumham tersebut sudah memiliki tujuan yang jelas. Akan tetapi perlu dipertegas bahwa Pemerintah Daerah sejatinya lebih dari termotivasi, membangun sinergi dalam menjalankan tugasnya namun selaku komplementer bagi Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjalankan kewajiban HAM dan memastikan dihormati, terlindungi, dan terpenuhinya hak asasi manusia warganya.

Keempat, pada Pasal 3 disebutkan kriteria yang dinilai adalah pemenuhan hak-hak dasar seperti hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak perempuan dan anak, hak atas kependudukan, hak atas pekerjaan, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan. Perlu juga dipastikan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM untuk hak-hak yang lainnya. Hak-hak lain yang dimaksudkan seperti hak atas informasi dan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas rasa aman, dan hak sipil politik yang ada pada Undang-Undang HAM.
 
“Permenkumham ini lebih ke hak-hak ekosob, sehingga perlu juga untuk memberi sedikit ruang untuk hak sipil politik. Sehingga tidak hanya hak ekosobnya saja yang dibahas, namun juga hak sipolnya,” tegas Beka.

Kelima, pada pasal 4 disebutkan penyusunan penilaian berdasarkan pada indikator struktur, idikator proses dan idikator hasil sejalan dengan rujukan yang diterbitkan oleh Kantor Komisi HAM PBB tentang Indikator HAM. Beka menjelaskan bahwa dalam penjelasan indikator struktur belum ada jaminan bahwa produk hukum daerah (Perda, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, dan lain-lain) yang dihasilkan telah memiliki perspektif HAM atau paling tidak perspektif pembangunan berbasis HAM. Sehingga perlu dipastikan produk hukum daerah yang dihasilkan menganut prinsip non diskriminatif, kesetaraan, universal dan prinsip-prinsip HAM lainnya.

Lebih dari itu, hal lain yang perlu dipastikan dalam proses penyusunan anggaran menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berbasis HAM yang juga direkomendasikan oleh Bappenas yaitu partisipatif, akuntabel, non diskriminasi, dan lain-lain. Dalam indikator proses disebutkan perlu adanya ketersediaan berbagai fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan. Namun, perlu diperiksa pula terkait aksesibilitas, keterjangkauan, dan penerimaan hak sesuai dengan elemen dasar dari masing-masing hak sebagaimana tercantum dalam Komentar Umum PBB tentang Konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
 
“Hubungannya dengan catatan sebelumnya, apabila dalam kriteria penilaian dimasukkan hak sipil politik seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka indikator struktur, proses dan hasil bisa lebih terlihat. Misalnya membandingkan jumlah permohonan pembangunan tempat ibadah dan jumlah yang disetujui atau indikator lain,” lanjut Beka.

Keenam, pada pasal 4 sampai 15 terkait mekanisme penilaian di mana penilaian dilakukan secara mandiri dengan menggunakan indikator yang sudah tersusun dalam lampiran. Perlu diperhatikan proses penyusunannya. Tim penilai sebaiknya melibatkan masyarakat sipil, seperti LSM. Pelibatan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam penilaian menjadi suatu praktik baik pula.

“Penting pula terkait validitas data, seperti jangka waktu mengisi, menilai dan memonitor isian dan capaian yang ada. Tidak kalah penting juga terkait kapasitas pengetahuan dan pemahamam soal HAM dari tim penilai. Keterlibatan dan keterwakilan yang cukup dari masyarakat dalam melakukan verifikasi juga sangat penting,” jelas Beka.

Ketujuh, Komnas HAM RI menyampaikan apresiasinya terhadap teknologi informasi dalam proses penilaian dengan aplikasi yang sudah dibangun. Namun, pemutakhiran, pemanfaatan dan kemudahan teknologi informasi dalam penggunaannya perlu terus dikembangkan karena kapasitas dan literasi pihak pengisi (Pemerintah Daerah) yang berbeda-beda.

Kedelapan, dalam monitoring dan evaluasai tidak memuat pembahasan terkait pemantauan dan evaluasi. Monitoring patut dilakukan pada kabupaten/ kota yang telah menerima penghargaan pada tahun sebelumnya. Salah satunya dengan melibatkan warga sebagai pemangku hak atau penikmat hak yang kewajibannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah. Monitoring dan evaluasi juga dapat dilakukan dengan melihat adanya kebaruan data yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota kepada tim penilai.

“Hal ini penting, karena ada kabupaten/ kota yang selama beberapa tahun berturut-turut mendapat penghargaan. Sehingga penting untuk membangun instrumen pemantauan dan evaluasi terkait apa dampaknya kepada masyarakat. Bisa menggunakan random survey kepada masyarakat untuk melihat apakah kabupaten/ kota tersebut memang pantas mendapatkan penghargaan tersebut. Jangan sampai data yang diberikan adalah data copy paste dan tidak ada perkembangan serta pembaruan,” pungkas Beka. (Utari/LY)

Short link