Kabar Latuharhary

Komnas HAM RI Luncurkan Kajian atas Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah

Kabar Latuharhary - Komnas HAM RI melalui Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian meluncurkan hasil kajiannya atas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah, Jum’at (6/11/2020). Komnas HAM RI sebelumnya telah melakukan pengkajian atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006  (PBM – red) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik dalam sambutan pembuka menyampaikan bahwa Komnas HAM melakukan kajian ini berangkat dari mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang 39 tahun 1999 untuk melakukan pengkajian dan penelitian atas berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dimensi hak asasi manusia. Beberapa tahun terakhir, jika dilihat dari catatan Komnas HAM RI terjadi peningkatan kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Beberapa aduan yang diterima berhubungan dengan izin mendirikan rumah ibadah, perusakan rumah ibadah serta penghentian dan penolakan kegiatan ibadah di sejumlah daerah.

Komnas HAM RI menilai jika tidak ada tindakan yang jelas dan tegas dari pemerintah terkait PBM tersebut, maka wajah perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia akan terus mengalami permasalahan. “Apalagi dalam berbagai kasus, praktik-praktik pelarangan atau pencegahan dilakukan dengan kekerasan. Jadi politik kita semakin diwarnai oleh praktik kekerasan, begitu pun dalam kehidupan sosial beragama yang akan mengancam bangsa kita yang sangat beragam,” jelas Taufan.



Komnas HAM RI mencatat implementasi PBM tersebut apabila ditinjau dari perspektif hak asasi manusia masih perlu diperbaiki. PBM yang mengatur tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah justru membatasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sendiri. "Baik dari segi konsep maupun praktiknya kita perlu untuk melakukan kajian lebih mendalam. Manakala dibutuhkan sebuah langkah untuk memperbaiki, maka kita perlu memperbaiki. Kalau berkaitan dengan implementasi yang dirasa belum baik, kita perlu memperbaiki implementasi PBMnya," kata Taufan.

Lebih lanjut, Taufan menyampaikan harapannya agar kajian Komnas HAM RI terhadap PBM ini dapat menghasilkan nilai strategis dan dampak yang besar dilihat dari 2 (dua) aspek. Pertama, pengaturan pendirian rumah ibadah harus dengan membertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Kedua, mendorong adanya perlindungan HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, terhadap masyarakat yang ingin mendirikan rumah ibadah.

Peluncuran Kajian atas PBM Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah kemudian dilanjutkan dengan Diskusi yang dipandu oleh Stefani Imanensia Ginting. Dalam diskusi hadir sebagai narasumber Peneliti Komnas HAM RI, Agus Suntoro, Ketua Umum ICRP, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, Kasubid Harmonisasi Umat Beragama Kementerian Agama RI, Paulus Tasik Galle’, dan Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan.

Senada dengan Taufan, Peneliti Komnas HAM RI, Agus Suntoro menyampaikan bahwa muatan terkait persyaratan pendirian rumah ibadah pada PBM tersebut membatasi hak kebebasan beragama. "Aturan yang membatasi, dan berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama persetujuan mengenai dukungan penduduk sekitar. PBM 2006 dalam perspektif hukum juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah perundang-undangan yang baik," kata Agus.

Salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM ialah adanya daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Syarat lain, dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kantor departemen agama, dan rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). "Unsur 60-90 mungkin bagi agama mayoritas tertentu tidak masalah, celakanya peran pemerintah untuk memfasilitasi kewajiban tersebut selalu menjadi utama," papar Agus.

Lebih lanjut, terkait fungsi dan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam PBM 2006 pun harus diperbaiki. FKUB, menurutnya merupakan bagian dari konflik pendirian rumah ibadah berkaitan dengan fungsi pemberian rekomendasi sebagai syarat Pemerintah Daerah menerbitkan izin. Selain itu, FKUB juga menjadi unsur keterwakilan masyarakat terhadap intervensi dan kekuasaan secara penuh oleh Negara dalam proses pendirian rumah ibadah.

Komnas HAM RI kemudian merekomendasikan perlu ada kerangka pembentukan peraturan yang mengatur rumah ibadah dengan menjunjung tinggi prinsip dan norma hak asasi manusia, serta menghindari kerangka pembatasan dan watak diskriminasi. "Komnas HAM mendorong perubahan PBM 2006 khususnya dalam bagian pendirian rumah ibadah untuk diatur dalam regulasi setingkat undang-undang karena substansi muatan materi di dalamnya ternyata banyak yang bersifat diskriminasi dan bersifat pembatasan," tegas Agus.

Komnas HAM RI juga akan mendorong perubahan PBM tersebut khususnya dalam bagian pendirian rumah ibadah untuk diatur dalam regulasi setingkat undang-undang. Selain itu, Komnas HAM RI mendukung pembentukan regulasi yang kedudukanya di bawah undang-undang, misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, sepanjang terdapat landasan hukum yang mendelegasikan serta substansi materi muatannya bersifat pengaturan dengan merumuskan kritera syarat-syarat yang objektif dalam pendirian rumah ibadah.

Komnas HAM RI juga merekomendasikan adanya evaluasi terhadap tugas, fungsi dan komposisi FKUB dalam PBM 2006 dengan mendorong untuk fokus pada peran yang strategis sebagai fasilitator dan dinamisator untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia, memastikan dukungan (regulasi, kelembagaan, keuangan dan sarana prasarana) bagi kelancaran tugas dan fungsi, serta memberikan akses dan kedudukan yang setara dalam komposisi dan keanggotaan FKUB termasuk bagi minoritas (agama dan kepercayaan) setempat. (Utari/LY)


Short link