Kabar Latuharhary

Menggagas Sistem Rujukan dan Mekanisme Perlindungan Hak Korban

Jakarta-Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menjadi pembicara dalam forum Web-Consultation #1 on Referral System on Human Rights in ASEAN Region yang diselenggarakan secara daring oleh AICHR Indonesia dan WEAVE pada pekan lalu. Sebuah sistem rujukan bagi mekanisme pelaksanaan hak asasi manusia menjadi diskusi menarik dalam forum ini.


Selain Komnas HAM, representatif dari berbagai elemen seperti GAATW, CMA Filipina, ILO Fishery Project, APPRN, CHRP,  dan SUHAKAM turut berpartisipasi pada Rabu (21/10/2020).



Taufan Damanik pun secara lugas menyampaikan paparannya mengenai Sistem dan Mekanisme Rujukan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara: Tantangan dan Peluang dalam Melindungi Hak Korban di Indonesia. Deklarasi PBB mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan Tahun 1985, menurutnya, dapat menjadi dasar rujukan negara maupun komisi-komisi hak asasi manusia di tingkat regional Asia Tenggara.


"Terutama untuk perlindungan hak-hak korban yang dilanggar hak asasi manusianya, baik itu korban kriminal, korban penyalahgunaan kekuasaan," ujar Taufan menegaskan.


Deklarasi yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/34 pada 29 November 1985 tersebut sarat akan poin-poin fundamental, yakni meliputi pendefinisian korban secara detail, misalnya korban penyalahgunaan kekuasaan merupakan termasuk dalam korban kejahatan. Hal ini, nilai Taufan, penting bagi keadilan korban sekaligus sebagai upaya melindungi korban. Selain itu, di dalamnya juga mengatur secara lengkap mengenai akses untuk memperoleh keadilan dan perlakuan adil. remedi, repatriasi, restitusi, reintegrasi, kompensasi dan bantuan. 


“Deklarasi ini  mencakup secara  komprehensif  banyak isu serius  mengenai korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, oleh karenanya deklarasi ini cocok untuk dijadikan dasar sistem rujukan di level nasional maupun regional,” imbuh Taufan.


Di samping itu, instrumen internasional lain yang dapat dijadikan pedoman untuk melindungi hak-hak korban adalah Pasal 24-25 Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional dan Terorganisir, Pasal 6 - 8 Protokol tentang Perdagangan Manusia, dan Pasal 68 Statuta untuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC).


Di Indonesia, instrumen internasional ini digunakan oleh Komnas HAM RI untuk memberi saran dan rekomendasi kepada pemerintah atau institusi lain untuk patuh pada standar internasional terkait hak asasi manusia. “Jadi ketika berbicara mengenai korban human trafficking maupun persoalan illegal fisheries ataupun korban pelanggaran HAM lainnya, kami merekomendasikan kepada institusi penegak hukum dan pemerintah untuk merujuk standar HAM sesuai dengan instrumen internasional, seperti ICCPR, CEDAW, CRC dan Protokol Palermo karena UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum mengatur secara spesifik,” sambung Taufan mencermati.


Menyinggung persoalan Pekerja Migran Indonesia (PMI),  melalui perjuangan advokasi berbagai elemen masyarakat dan organisasi sipil lainnya akhirnya Pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dengan begitu, Indonesia memiliki kekuatan legal untuk melindungi para pekerja migran. 


Namun, Taufan mencermati, Indonesia tetap masih memiliki tantangan dalam hal ini seperti persoalan pekerja migran illegal (TKI ilegal) di Asia dan Timur Tengah dan persoalan administrasi. “Dalam penerapannya, UU Nomor 7 Tahun 207 masih menyisakan berbagai persoalan termasuk  belum ada standar baku antara Indonesia sebagai negara asal PMI dengan Negara tempat PMI yang berimplikasi pada persoalan di kemudian hari seperti overstay, pekerja migran illegal, dan sebagainya. Mestinya ada kesepakatan antara pihak Indonesia sebagai negara pengirim dengan negara penerima,” jelasnya.


Tidak hanya itu, persoalan pendataan pekerja migran juga dinilai Taufan menjadi tantangan. “Indonesia memiliki lembaga tersendiri yang mengurusi PMI, yaitu BP2MI yang memiliki kewenangan mememantau dan menangani persoalan pekerja migran namun data yang belum komprehensif masih menjadi persoalan,” ungkapnya.


Tantangan yang tak kalah serius, yakni masa pandemi COVID-19 yang mengakibatkan krisis ekonomi global dan gelombang pemutusan hubungan kerja. Taufan mengingatkan agar pemerintah Indonesia harus melakukan upaya konkret dalam menangani hal ini.


Belum lagi tindak kekerasan yang masih menjadi ancaman bagi pekerja migran di Indonesia, seperti di Malaysia. Untuk itu, ungkap Taufan, Komnas HAM RI berupaya dengan menjalin kerjasama dan pendekatan bilateral dengan SUHAKAM yang berbasis di Malaysia.


Menyinggung persoalan penangkap ikan dan pekerja industi perikanan (fisheries), sebagai alternatif solusi, Taufan memandang penting penguatan koordinasi dan sinkronisasi regulasi antar Kementerian terkait yaitu Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perikanan dan Kelautan. Ia menilai persoalan yang menimpa nelayan di Indonesia salah satunya diakibatkan adanya miskoordinasi dan tumpang tindih kewenangan yang semestinya dapat diatasi dengan koordinasi dan kesepakatan antar kementerian. 


Informasi dari Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan, hingga akhir September 2020 lalu, 26.325 orang Pekerja Migran Indonesia di sektor kelautan seperti pelayaran, industri perikanan dan penangkap ikan yang dipulangkan ke Indonesia. Tidak hanya pemulangan dan pemutusan hubungan kerja, mereka juga menghadapi ancaman kematian, khususnya bagi para penangkap ikan. 


"Perlu ada data yang komprehensif untuk memonitor pekerja migran Indonesia di luar negeri. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah,”ungkap Taufan.


Sedangkan untuk persoalan tindak pidana perdagangan orang, Taufan menilai perlu adanya program dan kebijakan yang terintegrasi dalam penerapan UU Nomor 21 Tahun 2007. Meski begitu ia menilai pemerintah telah banyak berupaya  dan melakukan banyak praktik dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang. 


“Perlu adanya koordinasi antara Pemerintah pusat dan daerah yang diwujudkan dalam program terpadu yang komprehensif, misalnya dalam hal rehabilitasi sosial. Tidak hanya itu, karena menyangkut lintas negara maka perlu ada kerjasama multilateral dalam penanganannya,” jelas Taufan.


Kemudian membahas persoalan pengungsi dimana Indonesia menerima ribuan pengungsi dari negara lain, misalnya Rohingya yang harus ditangani secara serius. Dasar hukum mengenai penanganan pengungsi terdapat pada Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Disampaikan Taufan, walaupun Indonesia belum meratifikasi Convention of Status Refugee and Asylum Seeker Tahun 1951, Namun Perpres Nomor 125 Tahun 2016 di dalamnya mengakomodasi prinsip non-refoulment atau asas larangan suatu negara untuk menolak atau mengusir pengungsi ke negara asalnya atau ke suatu wilayah dimana pengungsi tersebut akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengancam serta membahayakan kehidupan maupun kebebasannya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau karena opini politiknya.


“Status pengungsi belum clear. Kita menerima pengungsi namun statusnya belum jelas. Untuk itu kami berharap agar Pemerintah dapat melakukan revieu mengenai regulasi atau langkah terbaik dengan  melakukan ratifikasi Convention of Status Refugee and Asylum Seeker Tahun 1951,” ujar Taufan.


Lebih dari itu, penanganan pengungsi dari luar negeri dinilainya mengalami perkembangan yang cukup baik dengan adanya perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang pendidikan para pengungsi anak. (AAP/IW)

Short link