Latuharhary – Komnas HAM melalui Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian akan melakukan kajian atas Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah, di Hotel Oria, Jakarta pada Jumat (13/03/20).
Pemilihan topik kajian tersebut berdasarkan pada pengaduan masyarakat terkait dengan pendirian rumah/tempat ibadah. “Tercatat pada 2019, Komnas HAM menerima 23 kasus terkait KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan-red), ada beberapa yang menyangkut pendirian tempat ibadah, antara lain di Bantul, Lamongan, Aceh dan lokasi lainnya, sehingga dengan kegiatan kajian ini diharapkan dapat meninjau akar masalah dari kasus-kasus tersebut dikaitkan dengan PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006”, ujar Agus Suntoro, yang menjadi koordinator pengkajian.
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, implementasi PBM diduga menjadi faktor yang mengganggu hak untuk beribadah, menimbulkan persinggungan atau konflik di berbagai tempat, mengakibatkan intervensi negara, dan menimbulkan kekerasan berdasarkan agama dan kepercayaan yang berimplikasi pada pelanggaran HAM. Hal ini berkaitan dengan klausul peraturan di PBM Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang menerangkan bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi syarat persetujuan dari 90 orang pengguna rumah ibadah dan 60 orang masyarakat setempat. “Hal ini dapat menimbulkan diskriminasi bagi penganut agama minoritas,” tegas Agus.
Untuk mempertajam kajian tersebut, hadir sebagai narasumber, Dr. Rumadi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut Rumadi, PBM yang sudah berusia 14 tahun ini tidak dipungkiri dapat menimbulkan masalah dalam implementasinya di masyarakat. PBM ini dirumuskan oleh Kementerian Agama dan tim perumus berkonsultasi dengan majelis agama, termasuk penetapan ketentuan 90-60 yang telah melalui perdebatan panjang.
“Para penyusun juga mengakui adanya permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan PBM ini. Namun, ada pihak yang ingin memperkuat aturan ini menjadi peraturan presiden atau undang-undang karena aturan ini dianggap kurang kuat daya ikatnya terutama pada Pemda (Pemerintah Daerah-red). Padahal tekanan dalam aturan ini agar Pemda menjaga kerukunan, menyelesaikan konflik dan persoalan pendirian tempat ibadah di masyarakat”, ungkap Rumadi.
Senada dengan Agus, Rumadi menilai PBM justru menjadi salah satu alasan yang dijadikan legitimasi oleh sekelompok orang tertentu untuk menolak atau menghambat pendirian tempat ibadah. “PBM ini adalah potret kecil dari permasalahan besar tentang keagamaan di Indonesia. PBM ini sebenarnya memberi jalan keluar jika Pemda punya komitmen mewujudkan kerukunan sosial yang menjadi tanggung jawab Pemda, sehingga seharusnya tidak ada yang tidak bisa beribadah” lanjutnya.
Sampai saat ini, lanjut Rumadi, belum ada mekanisme reward atau punishment terhadap Pemda yang dapat menjalankan atau tidak dapat menjalankan tanggung jawab dan kewenangannya dalam pendirian tempat ibadah yang bersifat tetap atau sementara. Pemda disorot hanya ketika muncul konflik di tengah masyarakat, padahal harusnya yang lebih banyak disorot adalah Pemda yang berhasil mengelola kerukunan antar umat beragama untuk dijadikan pelajaran bagi daerah-daerah lain.
“PBM bukan hanya perkara di syarat 90-60 saja karena belum tentu jika persyaratan direndahkan akan memberikan solusi dan mempermudah dalam pendirian tempat ibadah. Harus ada sinergi satu sama lain antara konteks sosial, norma, kultur di masyarakat dengan Pemda yang menegakkan aturan ini untuk saling bersinergi agar meminimalisir terjadinya diskriminasi dalam proses penerapan PBM ini”, ungkap Rumadi.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam, mengungkapkan harapannya, “saat ini belum diketahui ada lembaga yang pernah melakukan riset tentang seberapa patuh Pemda terhadap tanggungjawabnya untuk memelihara kerukunan umat beragama dan problem tempat ibadah, diharapkan riset ini bisa menjadi aspek pembaruan”.
Perlu diketahui, kegiatan yang dilakukan Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian ini merupakan bagian dari salah satu fungsi Komnas HAM dalam melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Kajian dan penelitian tentang hak asasi manusia yang dilakukan oleh Komnas HAM berfungsi untuk melihat persoalan HAM di Indonesia secara lebih konkret, sehingga Komnas HAM dapat memberikan rekomendasi berdasarkan dengan data dan informasi yang lebih akurat. Adapun hasil dari kegiatan ini akan ditindaklanjuti oleh tim penelitian untuk memperbaiki desain risetnya sehingga menjadi lebih fokus dan memberikan kontribusi untuk mendorong pelaksanaan HAM yang kondusif dalam menjalankan hak kebebasan dan beragama di Indonesia. (Ratih/MDH)
Short link