Kabar Latuharhary

Buruh Terdampak COVID-19, Komnas HAM: Pemerintah Harus Cepat dan Tepat

Jakarta - Dampak pandemi virus Corona (COVID-19) mempengaruhi kondisi perekonomian nasional maupun global. Tak pelak, hal ini berimbas langsung pada dunia usaha baik skala kecil maupun besar, yang  kemudian menumbuhkan sejumlah persoalan bagi para pekerja dan buruh.

Komnas HAM RI mencatat ada enam dampak pandemi COVID-19 yang dirasakan para buruh, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan, bekerja sebagian, pengurangan gaji, pemaksaan pengunduran diri (resign), dan tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). 

Hal ini disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara dalam diskusi publik webinar yang diselenggarakan oleh Tim Pengkajian Tata Kelola COVID-19 Komnas HAM RI bertajuk "Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Buruh yang Terdampak COVID-19", Rabu (22/4/2020).

Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19, Presiden sudah memutuskan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam PP No. 21/2020 jo. Permenkes No. 9 Tahun 2020, yang diantaranya membatasi berbagai aktivitas masyarakat yang dialihkan untuk dapat dilaksanakan di rumah. 

Pemberlakuan PSBB ini menimbulkan dampak, antara lain permintaan atau daya beli masyarakat menurun, biaya impor meningkat, sulit akses bahan baku, dan kondisi perekonomian semakin sulit yang mengakibatkan banyak perusahaan gulung tikar atau menghentikan kegiatan operasionalnya.

Berdasarkan data yang dihimpun Tim Pengkajian Tata Kelola COVID-19 Komnas HAM RI, tercatat terdapat 1.943.916 orang buruh/pekerja terdampak pandemi COVID-19 dari sektor formal maupun informal.

Beka ikut mencermati respons pemerintah melalui Surat Edaran Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 yang mengatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang menjadi ODP, PDP, dan pasien postif COVID-19. Substansinya tidak mewajibkan mekanisme pembatasan aktivitas buruh, melainkan perusahaan diwajibkan membuat rencana kesiapsiagaan, tindakan pencegahan, pembinaan dan pengawasan, dan penyebaran informasi kepada semua jajaran organisasi.

“Kami melihat hal ini lebih merugikan buruh, karena seringkali kesepakatan hanya ditentukan sepihak oleh perusahaan sehingga tidak ada kesetaraan pekerja/buruh harus menerima upah yang tidak layak atau lebih rendah dari ketentuan upah minimum,” terang Beka lebih lanjut.



Beka juga menyinggung efektivitas kebijakan kartu prakerja yang niatnya menopang para pekerja/buruh terdampak COVID-19. Semenjak pandemi terjadi, peruntukan kartu prakerja yang semula bagi masyarakat belum pernah bekerja berubah menjadi untuk pekerja/buruh terkena PHK. Mereka mendapatkan manfaat sebesar Rp 3,550 juta per orang, terdiri dari bantuan pelatihan, insentif pasca pelatihan, dan insentif survei kepekerjaan.

Hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaannya, ulas Beka, yaitu belum meratanya akses teknologi informasi. Ditambah lagi, peserta program sudah memiliki keterampilan masing-masing di tempat kerja sebelumnya, namun jenis program pelatihan kurang efektif di tengah kondisi darurat.

Peserta kartu prakerja, dinilai Beka lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk kebutuhan hidup sehari-hari.  

Mekanisme penyaluran tenaga kerja lulusan program, kendala saat pendaftaran, dan proses sangat selektif sehingga banyak yang tidak diterima turut menjadi perhatian Beka karena prosedurnya tidak jelas.

Kasus PHK yang banyak terjadi pada masa pandemi COVID-19 turut menjadi penbahasan. Komisi Tinggi HAM PBB sendiri mengeluarkan beberapa rekomendasi sebagai panduan bagi negara-negara anggota dalam menghadapi pandemi COVID-19. Salah satunya dengan memastikan bantuan ekonomi bagi masyarakat, seperti jaminan pembayaran cuti sakit, perluasan manfaat bagi pekerja yang terkena PHK, distribusi pangan, dan bantuan langsung tunai untuk mengurangi dampak krisis. 

“Saya kira hal ini sebagian sudah mulai dilakukan pemerintah, meskipun masih ada catatan, antara lain soal distribusi pangan yang mengalami keterlambatan jadwal distribusi dan tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat yang sebenarnya mampu tetapi kemudian diberi bantuan. Saya kira ini terkait problem data dan strategi pemerintah untuk mengatasi hal ini,” ungkap Beka.

Ketentuan lain yang menjadi perhatian adalah standar Organisasi Buruh Internasionl (ILO) bahwa buruh yang terkena PHK atau dirumahkan karena dampak ekonomi dari COVID-19 atau alasan keamanan dan kesehatan wajib diberikan uang pesangon dan kompensasi atas hilangnya pendapatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah promosi seperti jasa dan pelatihan untuk mempersiapkan mereka kembali ke dunia kerja 

 “Ini penting saya supaya ada jaminan atas rasa aman dan jaminan hak atas pekerjaan yang harus mereka terima saat pandemi ini berakhir. Jangan sampai ketika perekonomian sudah pulih, industri mulai bergerak menuju normal, tapi orang-orang yang tadinya bekerja justru tidak bekerja karena tergantikan orang lain,” ujar Beka.

Beka menuturkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (1): “Perusahaan tutup disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

“Sementara kemarin, ada pernyataan dari Bapak Mahfud MD (Menkopolhukam) bahwa terkait dengan Keppres yang menyatakan pandemi COVID-19 bukan bencana alam melainkan bencana non alam. Sehingga hal ini bukan menjadi alasan untuk mengkategorikan ini sebagai force majeur,” ujar Beka mengkritisi.

Ketentuan perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan 28D ayat (2) UUD RI 1945: “Warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan, upah, dan penghidupan  yang layak.” Sedangkan berdasarkan perspektif hak asasi manusia, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebut “Negara harus menjamin penikmatan hak warga negaranya secara berlanjut hingga standar tertinggi.”

Kemudian Pasal 7 Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya bahwa perlindungan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja/buruh menjadi kewajiban negara. Pemerintah harus memastikan instruksi perlindungan bagi pekerja/buruh diadaptasi oleh perusahaan.

Menyoal strategi pemerintah terhadap para pekerja/buruh, Beka meminta pemerintah dapat melakukan refocusing strategi, jangan sampai kontraproduktif. “Ketika semua buruh berhak mendapat bantuan hidup langsung seperti BLT atau jaminan atas pekerjaan, namun  pemerintah mengeluarkan kebijakan lain yang tidak tepat sasaran,” jelasnya.

Beka menekankan agar respons pemerintah harus cepat dan tepat. “Cepat karena dampak yang dirasakan oleh warga negara harus langsung dapat terasa. Cepat itu bermakna adaptatif, harus disesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat yang berubah cepat. Kemudian, tepat sasaran yaitu memperhatikan kelompok yang paling terdampak, kelompok rentan, sehingga itulah yang harusnya menjadi prioritas pemerintah,” pungkasnya. (AAP/IW)

Short link