Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Berpotensi Melanggar HAM

Latuharhary – “Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Tindak Pidana Terorisme telah menimbulkan  perdebatan dan polemik, namun bagus dalam iklim demokrasi,” ungkap Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, saat membuka Diskusi Publik “Polemik Rancangan Peraturan Presiden Terkait Pengaturan Pelibatan Militer Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum, Demokrasi dan HAM”. Diskusi diselenggarakan Komnas HAM RI di Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian secara online, pada Selasa (13/05/2020).

Diskusi yang dimoderatori oleh Komisioner Komnas HAM dari Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Beka Ulung Hapsara tersebut menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Komisioner Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian, M. Choirul Anam, Gubernur LEMHANNAS RI Letjen. Purn. Agus Widjojo, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Syafaat, dan Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf.

“Perdebatan membuat semua pihak pada akhirnya dapat menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Justru dari pergulatan berbagai pemikiran satu dengan yang lainnya itulah, akhirnya bangsa kita tentu akan mengambil keputusan yang dianggap terbaik terutama dalam hal penanggulangan terorisme”, harap Taufan.

Dalam paparannya, Anam menekankan bahwa Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI Dalam Tindak Pidana Terorisme harus merujuk pada UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Tindakan atas terorisme diletakkan pada skema penegakan hukum karena terorisme termasuk perbuatan pidana,”tegas Anam. Pendapat ini berdasarkan kajian Komnas HAM terhadap perpres dimaksud yang dilakukan sejak 2019.

Lebih lanjut Anam menegaskan, karena Perpres tersebut apabila dilihat dari kerangka UU, maka harus diperhatikan bahwa Perpres tidak dapat mengalahkan aturan-aturan yang ada di atasnya, sehingga perlu adanya kajian ulang.

“Perpres ini kan harusnya pengejawantahan aturan yang ada di UU, namun Perpres ini justru menyalahi apa yang ada di UU. Kalau ini sampai disahkan maka akan berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. Kalau memang pada akhirnya dipaksakan untuk disahkan, maka kami berharap ini dapat ditunda dulu, untuk kemudian kita baca ulang”, papar Anam.

Agus Widjojo sebagai pembicara kedua menyampaikan, tindak terorisme merupakan tindak hukum pidana maka membutuhkan respon penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Menurut Agus, militer tidak pernah dirancang untuk menjadi penegak hukum, tetapi bisa membantu dengan otoritas yang jelas, diwadahi dalam UU perbantuan TNI di masa damai”, terang Agus.

“Perpres tersebut juga rawan karena tumpang tindih dengan berbagai lembaga seperti TNI, POLRI, BNPT, Densus 88, dan lain-lain. Maka dari itu, sebaiknya, selain melakukan penyempurnaan pada rancangan perpres, perlu diterbitkan juga UU perbantuan TNI di masa damai yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil di masa damai”, tegas Agus.

Pandangan serupa  disampaikan oleh Ali Safaat. Menurutnya, rancangan perpres tersebut substansinya lebih menggunakan kerangka UU TNI bukan kerangka UU pemberantasan tindak pidana terorisme.

“Sifat dari TNI itu adalah perbantuan, sehingga harusnya tidak selalu bisa bertindak secara langsung, kalaupun akhirnya bertindak sesuai dengan Keputusan Presiden, tetap harus melalui persetujuan DPR”, ungkapnya.

Al-Araf dari Imparsial juga berpendapat bahwa pelibatan militer dalam penanganan terorisme harus dikembalikan kepada basis dasarnya, yakni UU TNI. Oleh karena itu, tidak boleh draft perpres tersebut, menyimpang dari UU TNI.

“Kalau draft perpres ini dipaksakan, maka ini akan menimbulkan problem-problem dalam raperpres dan HAM. Menurut Araf, DPR perlu meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang terhadap substansi pasal dalam perpres yang masih banyak memiliki persoalan.

Sedangkan Arsul Sani yang merupakan narasumber terakhir memberikan pernyataan bahwa masukan-masukan yang ada pada diskusi tersebut dapat disampaikan kepada Presiden dan DPR.

“Yang dapat dilakukan oleh DPR sebagaimana lazimnya adalah  menyampaikan pandangan. Tentu pandangan yang berkembang, termasuk dalam webinar ini bisa menjadi pandangan juga ke DPR. Oleh karena itu, mudah-mudahan Komnas HAM nanti juga bisa menyampaikan prosiding dari webinar ini untuk disampaikan kepada pimpinan DPR, fraksi-fraksi, dan Komisi I serta komisi III DPR”, terang Arsul.

Pada sesi diskusi, Dr Connie Rahakindini Bakrie memberikan pandangan bahwa tantangan terorisme pada saat ini tidak hanya terbatas pada perang fisik saja, namun dapat pula berkembang melalui aspek yang tidak terlihat seperti, komunikasi, inteligen, biologi, dsb.

“Oleh karena itu, kemampuan terorisme yang ada sekarang, membutuhkan penanganan yang ekstra, bukan hanya penanganan oleh POLRI yang persuasif lagi, namun juga termasuk militer di dalamnya,” ujar Connie.

Menanggapi hal tersebut, Al Araf berpendapat bahwa dinamika ancaman terorisme memang lebih kompleks saat ini. “Tetapi, semua negara juga harus menyadari bahwa pelibatan militer dalam menghadapi berbagai jenis ancaman terorisme dilakukan ketika kapasitas sipil sudah tidak bisa mengatasai ancaman terorisme lagi,”ujar Araf.

Senada dengan Araf, pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ali Syafaat.

“Pada level tertentu memang diperlukan tindakan yang bersifat militer terhadap terorisme. Persoalannya adalah kapan dan bagaimana caranya, hal itu bergantung pada tingkat dan variasi ancamannya”, terang Syafaat.

Acara kemudian di tutup oleh Beka dengan memberikan beberapa kesimpulannya terhadap diskusi yang sudah berjalan.

“Politik hukum negara yang ada dapat menjadi sebuah acuan, dimana UU yang lain juga harus menjadi dasar penting dalam penyusunan perpres ini, sehingga tidak bertabrakan dan tidak melampaui apa yang disampaikan dalam UU tersebut. Untuk itu, kami akan mencoba menyusun hasil diskusi ini menjadi suatu kerangka catatan yang lebih terstruktur. Selanjutnya, akan menjadi bahan catatan resmi dari Komnas HAM untuk disampaikan kepada komisi I dan III DPR RI yang membidangi isu ini”, tutup Beka.

Diskusi yang seharusnya diikuti oleh lebih dari 200 peserta tersebut hanya bisa diikuti secara online oleh 100 orang karena kapasitas ruang meeting online yang ada. Namun, setiap perwakilan dari berbagai lembaga/kementerian diberikan ruang untuk berpartisipasi di dalam diskusi  online ini. (Niken/MDH/Ibn)

Short link