Kabar Latuharhary

Mekanisme Perlindungan Bagi Pembela HAM

Kabar Latuharhary –Aktivis anti korupsi termasuk dalam kategori pembela HAM. Serangan dan ancaman terhadap pembela HAM masih tinggi. Meski perlindungan HAM sudah diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, namun sistem perlindungan HAM berbasis keamanan korban, belum terbangun dengan baik. Perlindungan HAM dalam ruang cyber pun perlu ada perhatian khusus. Oleh karenanya diperlukan sinergi dengan banyak pihak untuk menyusun desain komprehensif dan langkah-langkah strategis bersama.
Beberapa poin catatan Komnas HAM tersebut, disampaikan oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga sebagai pemantik diskusi dalam webinar “Wajah Demokrasi 4.0: Menjaga Ruang Aman Mereka yang Bersuara”, diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi RI secara daring pada Rabu, (18/11/2020). Sebagai pengantar, terkait aktivis anti korupsi, Sandra menjelaskan definisinya yang dikategorikan sebagai pembela HAM.

“Pembela HAM adalah orang dan/atau kelompok dengan berbagai latar belakang termasuk mereka yang berasal dari korban, baik secara sukarela maupun mendapatkan upah yang melakukan kerja-kerja pemajuan dan perlindungan HAM dengan cara-cara damai”, jelas Sandra.

Sandra kemudian memaparkan terkait data aduan Komnas HAM secara umum terhadap serangan digital. Dari Januari sampai Oktober 2020 ada 18 kasus dengan penyebaran tertinggi di DKI Jakarta. Pihak yang diadukan tertinggi, yaitu pemerintah pusat (kementerian) dilanjutkan dengan POLRI. Sedangkan untuk klasifikasi pengadu terbesar adalah individu dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Untuk kategori hak yang dilanggar yaitu, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi dan hak atas rasa aman.



Terkait pembela HAM, secara normatif Komnas HAM tidak memiliki mandat secara eksplisit. Namun, sesuai kewenangan yang ada, Komnas HAM melakukan mekanisme perlindungan yang mengacu pada peraturan Komnas HAM No. 5 tahun 2015 tentang prosedur perlindungan terhadap pembela HAM. “Bentuk perlindungannya sendiri adalah jika ada pengaduan yang termasuk dalam kasus pembela HAM, maka akan mendapatkan prioritas. Hal tersebut karena mereka adalah ujung tombak dalam penegakan HAM”, ungkap Sandra. Selanjutnya, Komnas HAM akan melakukan koordinasi, baik secara nasional maupun internasional, misalnya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kepolisian, kementerian dan lembaga terkait lainnya.

Kemudian, Sandra juga menjelaskan terkait Tim Pembela HAM yang sudah ada di Komnas HAM. “Tim Pembela HAM sudah dibentuk sejak April 2019 dan sampai sekarang masih ada”, jelasnya. Tugas tim adalah melakukan respon cepat terhadap pengaduan yang masuk terkait kasus pembela HAM. Selain itu, tim juga melakukan kajian baik internal maupun eksternal terkait pembela HAM. Saat ini tim sedang melakukan revisi Peraturan Komnas HAM (Perkom) No. 5 tahun 2015 dengan dibantu Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) serta Kemitraan. Tim juga melakukan pemantauan kasus pembela HAM, dan membangun jaringan pembela HAM.

Dalam cakupan tersebut, selain membentuk tim Pembela HAM, di Subkomisi Pemajuan, Komnas HAM juga melakukan penyusunan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Selain itu juga, melakukan pendidikan dan penyuluhan terhadap anggota POLRI, melakukan penyelenggaraan festival HAM setiap tahun untuk kabupaten/kota ramah HAM. Komnas HAM juga melakukan promosi pencegahan penyiksaan di tahanan dan tempat serupa tahanan bersama empat lembaga lainnya yaitu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ombudsman RI (ORI). (Niken/Ibn)

Short link