Kabar Latuharhary - Komnas HAM RI melalui Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga mengungkapkan bahwa pemberian hukuman dengan cara pengebirian dapat dikualifikasikan sebagai penghukuman yang keji dan tidak manusiawi. Hal tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 28G (2) jo. UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Hal tersebut juga masuk dalam pelanggaran hak atas persetujuan medis. Kekerasan seksual, menurutnya, tidak hanya bersifat medis, akan tetapi juga psikologis dan sosial. Komnas HAM berpendapat bahwa penanganan kekerasan seksual pada anak perlu ditangani segera secara menyeluruh dan konsisten.
“Pada tahun 2016, wacana tentang hukuman kebiri ini sudah berkembang. Dalam perdebatannya, Komnas HAM pernah mengeluarkan Keterangan Pers Pandangan Komnas HAM mengenai isu tersebut. Saat itu, setelah melewati perdebatan yang cukup panjang Presiden tetap menetapkan Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Pasal tentang kebiri itu ada di dalam Perubahan Undang-Undang 23 tersebut. Sejak 2016 sampai dengan 2020, baru pada Desember 2020 ada PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kimia dan seterusnya,” ungkap Sandra pada Webinar Hukum Kebiri: Dilema Tidak Manusiawi dan Efek Jera bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, Jum’at (5/02/2021).
Sandra menjelaskan bahwa dalam konteks hak anak, di dalam UUD 1945 terdapat pasal yang secara khusus menyebutkan hak anak yaitu pada Pasal 28B (2). Diluar hal itu, setiap orang berhak untuk terbebas dari segala macam penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabatnya yang disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28G (2) UUD 1945.
Senada dengan Sandra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina mengungkapkan bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sejak tahun 2016 saat hal tersebut diundangkan, sampai dengan 2020 jika dilihat dari dinamika kasus, kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak menurun. Hal tersebut mengindikasikan Undang-Undang tersebut tidak mememiliki sumbangsih terhadap penurunan kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu telaah yang lebih komprehensif untuk penerapan sanksi tersebut. “Prioritas rehabilitasi korban adalah yang paling utama,” ungkapnya.
“Pada tahun 2016, wacana tentang hukuman kebiri ini sudah berkembang. Dalam perdebatannya, Komnas HAM pernah mengeluarkan Keterangan Pers Pandangan Komnas HAM mengenai isu tersebut. Saat itu, setelah melewati perdebatan yang cukup panjang Presiden tetap menetapkan Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Pasal tentang kebiri itu ada di dalam Perubahan Undang-Undang 23 tersebut. Sejak 2016 sampai dengan 2020, baru pada Desember 2020 ada PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kimia dan seterusnya,” ungkap Sandra pada Webinar Hukum Kebiri: Dilema Tidak Manusiawi dan Efek Jera bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, Jum’at (5/02/2021).
Sandra menjelaskan bahwa dalam konteks hak anak, di dalam UUD 1945 terdapat pasal yang secara khusus menyebutkan hak anak yaitu pada Pasal 28B (2). Diluar hal itu, setiap orang berhak untuk terbebas dari segala macam penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabatnya yang disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28G (2) UUD 1945.
Senada dengan Sandra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina mengungkapkan bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sejak tahun 2016 saat hal tersebut diundangkan, sampai dengan 2020 jika dilihat dari dinamika kasus, kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak menurun. Hal tersebut mengindikasikan Undang-Undang tersebut tidak mememiliki sumbangsih terhadap penurunan kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu telaah yang lebih komprehensif untuk penerapan sanksi tersebut. “Prioritas rehabilitasi korban adalah yang paling utama,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sandra juga memaparkan Sikap dan Rekomendasi terbaru dari Komnas Perempuan pada awal 2021 terkait hal tersebut. Komnas Perempuan berpendapat bahwa pidana tambahan ini bermasalah karena mengurangi daya Negara dalam memenuhi hak konstitusional. Di dalam situasi penanganan kasus yang masih sangat terbatas, penambahan pidana kebiri kimia tidak akan secara substantif mengatasi persoalan akses keadilan yang dihadapi oleh korban.
Di akhir acara Sandra mengungkapkan bahwa diskusi yang digagas oleh Komap FISIPOL UGM ini sangat baik karena bisa menjadi ruang belajar yang efektif untuk bersama-sama memikirkan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dan memstikan Indonesia bisa membangun peraturan terkait hal tersebut. “Hanya negara yang menghormati hak asasi manusia yang bisa membangun diri sebagai bangsa yang kuat,” pungkas Sandra. (Utari/ LY)
Short link