Kabar Latuharhary

Menyoroti Hubungan Pembangunan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Kabar Latuharhary - Pembangunan dan hak asasi manusia erat kaitannya dengan bisnis dan hak asasi manusia. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang diciptakan oleh Pemerintah mengarah kepada perekonomian yang lebih penting daripada hak asasi manusia. Sehingga perlu ada cara-cara bagaimana agar kita tetap menjadikan hak asasi manusia sebagai prioritas.

“Akhir-akhir ini ada omnibus law, Undang-Undang Minerba, dan lain-lain yang mengesampingkan hak asasi manusia. Hal ini perlu dikaji bersama karena beberapa pihak menilai kebijakan-kebijakan tersebut tidak melihat hak asasi manusia,” ungkap Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara dalam Seminar Hukum Nasional Mewujudkan Perekonomian Indonesia yang Berparadigma HAM dalam rangka Mencegah Munculnya Market Friendly Human Rights Paradigm, Jum’at (19/02/2021).  Seminar Hukum Nasional ini dilaksanakanan dalam rangka Airlangga Law Competition yang merupakan kompetisi nasional setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Universitas Airlangga.

Lebih lanjut, Beka menyampaikan bahwa Pembangunan erat juga hubungannya dengan konflik agraria. Dalam konteks relasi negara, bisnis, dan HAM, negara memiliki kewajiban untuk mengutamakan juga memastikan bisnis dan pembangunan sejalan dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan justru membuka ruang dalam terjadinya perusakan lingkungan hidup. Data aduan masyarakat ke Komnas HAM selama 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan bahwa 30% kasus yang diadukan adalah kasus atau konflik agraria. Konflik tersebut akhirnya berdampak pada hilangnya lahan pribadi atau komunal, terputusnya akses ekonomi, degradasi lingkungan, kekerasan, penganiayaan dll.

Beka kemudian juga menyinggung soal konflik lubang tambang yang ada di Kalimantan dan sudah menelan banyak korban dan juga belum terselesaikan. “Selain banyak sekali kasus agraria, waktu penyelesaian kasusnya juga lama. Kebijakan makro Indonesia menegasikan soal hak asasi manusia karena perhatiannya memang lebih ke infrastruktur,” jelas Beka.
 
Menurutnya, ada 3 (tiga) besar kasus dalam agraria. Pertama, ketidakpastian dan diskriminasi hukum yaitu lambannya penanganan kasus sengketa di pengadilan, terhambatnya legalisasi pertanahan, dan rendahnya political will pemerintah dan redistribusi atau ganti rugi. Kedua, sengketa tanpa batas yaitu wilayah konsesi, wilayah administrasi pemerintahan dan wilayah adat/ suku/ etnis yang termasuk tenurial. Ketiga, tumpang tindih regulasi, tata ruang dan konsentrasi yaitu regulasi pusat dan daerah, skema tata ruang atau agraria, syarat dan ijin konsesi serta dokumen amdal.

“Saat ini kawan-kawan Sunda Wiwitan di Jawa Barat khususnya di Kuningan sedang meminta pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat, akan tetapi terganjal karena administrasi pertanahan yang sangat conflicting. Contohnya tanahnya yang mana saja tidak jelas,” ungkap Beka.



Terkait rekomendasi dan saran Komnas HAM terhadap pemerintah, Beka menyampaikan bahwa perlu untuk merubah paradigma pembangunan dengan lebih melihat hak asasi manusia, memastikan hak-hak warga negara terpenuhi seperti dalam persoalan lapangan kerja, serta aspek penegakan hukum menjadi penting karena banyak sekali kasus yang mengorbankan masyarakat dimana pelakunya tidak banyak dibawa ke pengadilan.

Ketika disinggung soal Undang-Undang Hak Asasi Manusia apakah masih relevan dan baik untuk digunakan saat ini, Beka pun mengungkapkan pandangannya. Menurutnya, Undang-Undang terkait Hak Asasi Manusia masih bagus digunakan saat ini. Namun, tidak cukup memadahi lagi dalam merespon apa yang ada.

Tidak hanya itu, menurut Beka kaitannya dengan Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sampai saat ini pelanggaran HAM yang berat belum terselesaikan karena kewenangan yang ada. Kewenangan Komnas HAM hanya sampai penyelidik saja, sedangkan penyidik ada di Jaksa Agung.

“Undang-Undang tentang HAM dikeluarkan tahun 1999, sementara dari 1999 sampai dengan 2020, Indonesia sudah banyak meratifikasi instrumen HAM PBB yang mana itu belum terakomodir dalam UU Nomor 39 tahun 1999. Oleh karenanya, harus ada penyesuaian baik materi yang ada seperti terkait penghiangan paksa, CEDAW, konvensi hak buruh migran dan lain-lain. Begitu pula dengan Undang-Undang 26 tahun 2000, perlu pertimbangan apakah akan ada revisi pada Undang-Undang tersebut,” pungkas Beka. (Utari/ LY)

Short link