Kabar Latuharhary

Film sebagai Alat Kampanye HAM

Kabar Latuharhary – Film merupakan salah satu media yang efektif untuk mengkampanyekan hak asasi manusia. Keunggulan film yang dapat menyuguhkan audio dan visual membuat para penggiat HAM meliriknya, termasuk Lam Horas Film, komunitas yang mengangkat kelompok rentan pada filmnya.

Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengakui peran penting para pembuat film dalam mengkampanyekan HAM di Indonesia. “Para pembuat film seperti teman-teman dari Lam Horas Film ini memiliki peran strategis dalam upaya memperbaiki kondisi HAM, khususnya terkait anak-anak dan para tahanan perempuan”, imbuhnya saat menghadiri peluncuran dan diskusi terbatas film Invisible Hopes dari Lam Horas Film di XXI Plaza Senayan, Jumat (19/02/2021).



Invisible Hopes merupakan film dokumenter yang memperlihatkan kondisi kehidupan ibu narapidana hamil dan anak-anak mereka yang terpaksa hidup dibalik jeruji penjara. Founder Lam Horas Film, Lamtiar Simorangkir, mengungkapkan tujuannya membuat film ini. “Invisible Hopes mencoba menggambarkan kondisi yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) perempuan, melalui film dan diskusi-diskusi seperti ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi membangun untuk kehidupan mereka yang lebih baik”, ujarnya.

Acara yang difasilitasi oleh Yuniyanti Chuzaifah, seorang penggiat HAM dan mantan Komisioner Komnas Perempuan, menghasilkan beberapa rekomendasi dari para tamu yang hadir. Selain Sandra, turut hadir Mimin Dwi Hartono (Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM), Thurman Hutapea (Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM), Putu Elvina (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan Ninik Rahayu (Anggota Ombudsman RI).

Perlu adanya reformasi dan perbaikan kondisi Lapas berdasarkan prinsip-prinsip HAM adalah salah satu rekomendasi yang dicetuskan saat diskusi. Kondisi Lapas maupun rutan di Indonesia yang over crowded sudah menjadi rahasia umum. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya pemenuhan hak-hak narapidana dan tahanan, tidak terkecuali mereka yang sedang hamil dan menyusui, serta anak-anak yang mereka lahirkan di dalam penjara.

“Banyak anak yang lahir dan terpaksa hidup di dalam lapas dengan kondisi yang serba terbatas, padahal seharusnya anak-anak ini dapat hidup bebas dan bermain selayaknya anak-anak lainnya”, ungkap Lamtiar.

Thurman yang mengikuti acara dari awal hingga akhir pun mengapresiasi film dan rekomendasi yang disampaikan para tamu. Menurutnya hal ini menjadi catatan penting yang konstruktif terkait keadaan yang tergambarkan dalam film tersebut. “Film ini bagian dari koreksi Dirjen Pas untuk penyempurnaan lembaga pemasyarakatan”, pungkasnya.

Perlu diketahui, pemutaran dan diskusi terbatas film Invisible Hopes ini diselenggarakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Pemutaran film hanya boleh diikuti oleh maksimal 25% dari kapasitas studio 300 kursi, sehingga jumlah tamu dan panitia yang hadir tidak lebih dari 40 orang. Para tamu dan panitia tidak diperkenankan membuka maskernya dan dilarang membawa makanan atau pun minuman ke dalam studio. Adanya jarak antar penonton dan tersedianya masker, face shield dan hand sanitizer melengkapi protokol kesehatan disana. (Ratih/Ibn)

Short link