Kabar Latuharhary

Badan Keahlian Diharap Memperkuat DPR RI sebagai Parlemen HAM

Kabar Latuharhary – Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah memadai dalam menjamin hak asasi manusia (HAM). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Selain itu, Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945 juga mengakui HAM mencakup hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, politik, hak anak, hak perempuan/wanita, dan hak lingkungan hidup. Kenyataan ini menggambarkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak konstitusional di Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga dalam Workshop Series on Research Based Legislative Agenda (Legislation, Budgeting, Oversight Functions) keenam dengan tema Human Rights and Gender Perspective in Legislative Agenda. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, Rabu, 14 April 2021. Sandrayati Moniaga menyampaikan dalam RPJMN 2020-2025 Pengarustamaan Gender menjadi salah satu dari 4 pilar utama. Hal ini menjadi salah satu langkah maju juga sebuah tantangan bagi Badan Keahlian (BK) DPR RI bagaimana menerjemahkannya.

Dalam kesempatan tersebut Sandrayati Moniaga juga menyampaikan beberapa produk hukum lainnya yang menunjukkan komitmen Indonesia terhadap HAM. Produk-produk hukum tersebut antara lain: Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, beberapa Undang-Undang HAM seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta 8 (delapan) instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi di Indonesia. “HAM menjadi kebijakan dasar yang ditetapkan, HAM sudah ada dalam konstitusi kita,” ucap  Sandrayati Moniaga dengan nada tegas.

Sandrayati Moniaga menjelaskan dalam penyusunan beberapa undang-undang telah didasari dengan prinsip HAM. Salah satunya yaitu dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Komnas HAM terlibat cukup lama dalam pembuatan undang-undang tersebut. Dalam penyusunannya merujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan prosesnya pun sangat partisipatif untuk mengakomodir masukan dari kawan-kawan disabilitas. Saat itu, Komnas HAM juga berperan menjadi fasilitator antara Komisi VIII DPR RI dan kawan-kawan penyandang disabilitas.

“Walaupun undang-undang ini tidak sempurna, ada peraturan pemerintah (PP) yang harus dibuat dan membuat stagnan. Akan tetapi sebagai satu legislative process, penyusunan undang-undang ini sangat positif. Saya berharap nanti dapat dilaksanakan, diturunkan dan ditindaklanjuti dengan PP yang benar sehingga memenuhi hak-hak kawan-kawan penyandang disabilitas,” kata Sandrayati Moniaga.

Tidak hanya itu, menurut Sandrayati Moniaga penyusunan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menarik. Ketua Tim pada saat itu sangat terbuka dengan kawan-kawan masyarakat sipil. Ada 2 (dua) Pasal yang dirujuk yaitu Pasal 66 dan Pasal 69 ayat (2) huruf h. Pasal 66 menjadi rujukan bagi pembela lingkungan dan pembela HAM karena menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Sedangkan dalam Pasal 69 yang melarang pembukaan lahan dengan pembakaran.

Namun begitu, masih ada beberapa undang-undang yang dalam proses pembuatannya belum berdasar prinsip HAM, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Berpuluh-puluh warga petani menjadi korban kriminalisasi akibat undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013). Dulu dibilang undang-undang ini dibuat untuk memidanakan perusak hutan korporasi, namun sampai saat ini yang kena adalah petani. Komnas HAM pada saat itu menyatakan sikap menolak penetapan undang-undang ini,” ujar Sandrayati Moniaga.

Tidak berbeda jauh dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013, banyak pula korban akibat Undang-Undang ITE. Hal ini menunjukkan salah satu contoh bahwa Undang-Undang ITE tidak berperspektif HAM.  

Lebih lanjut, Sandrayati Moniaga menyampaikan materinya terkait HAM dalam proses pembuatan undang-undang. Menurutnya, terdapat beberapa HAM yang terkait seperti hak atas informasi, hak untuk memajukan diri untuk membangun masyarakat, hak untuk berpartisipasi dalam pemajuan HAM, dan hak untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sandrayati Moniaga menjelaskan perspektif HAM dalam substansi produk-produk hukum yang terdiri dari aspek materiil dan prosedural. HAM bersifat universal dan tidak dapat dicabut, tidak dapat dipisahkan dan saling terkait. Ada aspek spesifik misalnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan yaitu aksesibilitas, ketersediaan, kualitas dan keterjangkauan.

Ada mekanisme HAM nasional dan internasional yang dilakukan oleh parlemen. Dalam mekanisme HAM nasional, parlemen melakukan pengawasan kepada Komnas HAM, pengawasan perkara-perkara HAM dan mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc berdasar peristiwa pelanggaran HAM yang berat sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dalam mekanisme HAM internasional, ada peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yaitu dalam menetapkan ratifikasi konvensi PBB yang penting untuk perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia, mengawasi pelaksanaan undang-undang ratifikasi konvensi dan berperan aktif di berbagai forum internasional.



Di akhir paparannya, Sandrayati Moniaga menjelaskan bagaimana Badan Keahlian (BK) DPR RI dapat berperan strategis dan efektif dalam Memperkuat DPR RI sebagai Parlemen HAM. Menurutnya, Badan Keahlian perlu menjadi salah satu simpul informasi dan analisis berbagai permasalahan HAM terkait legislasi di masyarakat misalnya dengan riset yang relevan dan pengelolaan pusat pembelajaran.

“Ada begitu banyak data yang tersebar, bagaimana kalau kemudian Badan Keahlian DPR RI ikut mengumpulkan data-data dari masyarakat sipil, Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI dan lain-lain untuk kemudian dianalisis. Jadi kita bisa melihat secara betul bahwa persoalan HAM itu terjadi di mana-mana. Begitu banyak masyarakat menderita karena hak asasinya dilanggar dan tidak ada upaya serius untuk memenuhi,” kata Sandrayati Moniaga.

Sandrayati Moniaga berpesan agar BK DPR RI memastikan kajian-kajian kebijakan berperspektif HAM yang dikemas menjadi dokumen yang mudah dibaca dan dipahami oleh Pimpinan serta Anggota DPR. Selain itu juga mengembangkan dan melembagakan sinergi dengan berbagai pihak. (Utari/Ibn)

 

Dokumentasi Foto: Humas Komnas HAM RI

Short link