Kabar Latuharhary

Warga Menteng Dalam Mengadukan Intimidasi dan Penyerobotan Tanah

Kabar Latuharhary - Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM Beka Ulung Hapsara menerima audiensi dari Warga Kelurahan Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan yang didampingi PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jum’at 23 April 2021. Audiensi yang dilakukan terkait dugaan intimidasi dan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada warga pemilik/penghuni lahan yang terletak di Jl. Prof. Soepomo, Menteng Dalam, Jakarta.


Saat audiensi berlangsung, Beka Ulung Hapsara yang didampingi PIC kasus Teny Karnila dan analis pengaduan Fatwa Hidayah, menyatakan bahwa surat pengaduan dari PBHI sudah diterima oleh Komnas HAM pada 12 April 2021. Beka Ulung Hapsara kemudian menjelaskan mekanisme pengaduan di Komnas HAM. Menurut Beka Ulung Hapsara, Komnas HAM menerima semua pengaduan dari pengadu untuk kemudian dianalisis seperti apa substansi aduannya, urgensinya, serta hak apa saja yang diduga dilanggar. Berdasarkan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang ada di Komnas HAM, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, pengaduan harus naik menggunakan mekanisme mediasi atau pemantauan. Untuk beberapa kasus, bisa diprioritaskan dan cepat dalam penanganannya.

“Kasus ini sudah diterima dan sedang diproses. Saat ini Komnas HAM sedang berproses untuk menyurati Gubernur DKI Jakarta sebagai penanggung jawab dan beberapa pihak terkait untuk dimintai keterangan,” kata Beka Ulung Hapsara.
 
Dalam surat pengaduan dituliskan bahwa berdasarkan dokumen yang telah di ketahui RT dan RW, keberadaan lahan yang ditempati dan/atau yang di beli Warga Menteng Dalam merupakan tanah partikulir Melayu Besar dan lebih kurang sejak 75 tahun secara terus menerus sebelum Indonesia merdeka telah ditempati dan dikelola oleh warga yang menggantungkan hidup mereka di tempat tersebut.

Sebanyak 14 (empat belas) kepala keluarga yang saat ini selaku pemilik/penghuni telah mengajukan pengakuan hak atas tanah tersebut, namun dipersulit oleh instansi terkait, khususnya pihak kelurahan. Warga selama ini juga telah melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan taat untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Mereka meminta Komnas HAM untuk: memanggil Gubernur DKI Jakarta sebagai pimpinan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengetahui dan memiliki wewenang penuh untuk menjelaskan permasalahan ini; memberikan rekomendasi keseluruh instansi terkait permasalahan ini; serta melindungi warga dari ancaman tindakan intimidasai dan tindakan kekerasan saat di lapangan.



Terkait penggusuran yang telah dilakukan, salah seorang perwakilan kuasa hukum pengadu menerangkan bahwa berdasarkan informasi dari Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) saat penggusuran, aset yang digusur telah masuk menjadi aset pemerintah provinsi sejak 2012. Sehingga hal tersebut menjadi dasar penggusuran warga. Akan tetapi, menurut warga, mereka telah menempati lokasi tersebut secara terus menerus sejak 1937. Menurut keterangan warga, pada tahun 1976 ada musibah yang menyebabkan dokumen warga hilang. Warga pun telah melaporkan kepada pihak berwajib dan warga juga membayar iuran pembangunan daerah (Ipeda) pada masa itu.

Alasan tersebut dirasa agak rancu, karena sebelum terjadi penggusuran warga selalu meminta alasan penggusuran juga tidak ada SPP (Surat Perintah Penggusuran). “Ada cacat administrasi dari pemerintah di mana tidak bisa menunjukkan dokumen kepada kami,” katanya.

Salah seorang warga yang terdampak penggusuran turut menyampaikan harapannya kepada Komnas HAM. “Kami ini pedagang pak, istilahnya kalau hari ini dapat uang kami bisa makan. Tapi sekarang lahan pun tidak ada. Saat ini kami hanya tinggal dengan belas kasihan keluarga. Jadi kami minta tolong dibantu dipercepat,” katanya.

Beka Ulung Hapsara menanggapinya dengan menyampaikan bahwa Komnas HAM akan mempercepat untuk bersurat kepada Gubernur DKI Jakarta, juga akan membantu untuk komunikasi dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) agar proses bisa dipercepat. Lebih lanjut, Beka Ulung Hapsara meminta warga untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dokumen-dokumen terkait sejarah tanah yang telah dimiliki sejak 1937 beserta foto-foto yang ada untuk memperkuat argumen. Komnas HAM juga akan membantu mengkomunikasikan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan bantuan kepada warga yang terdampak penggusuran. (Utari/LY)
 
 
Dokumen foto : Humas Komnas HAM RI

Short link