Kabar Latuharhary

Pandemi Covid-19: Aksesibilitas Penyandang Disabilitas ke Layanan Pendidikan Harus Dimudahkan

Kabar Latuharhary – Komnas HAM menyadari pada situasi pandemi Covid-19 masih banyak tantangan dan pembelajaran. Pandemi Covid-19 membuat semua negara berada pada titik awal yang sama, tidak ada yang tidak terpengaruh dan tidak ada pemerintahan yang siap menghadapinya. Peran teknologi khususnya internet menjadi satu hal yang sangat penting pada masa ini. Internet  dengan kecepatan tinggi menjadi alat yang diandalkan orang untuk berinteraksi satu sama lain, mengakses informasi dan melakukan hal penting lainnya. Hal ini memaksa perubahan cepat dalam cara berkomunikasi dan gaya hidup. Dunia online saat ini menjadi kebiasaan baru -- sering disebut sebagai new normal -- di seluruh dunia.

Pandemi Covid-19 juga berdampak negatif pada akses pendidikan kepada guru dan siswa, termasuk kepada penyandang disabilitas. Sekitar 15% populasi dunia terdiri dari penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan akses terhadap layanan pendidikan yang memadai karena pendidikan online yang tidak dapat diakses oleh sebagian besar penyandang disabilitas. Hal itu yang melatar belakangi fokus Komnas HAM pada isu hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas.

“Komnas HAM melalui Subkomisi Pengkajian dan Penelitian HAM saat ini sedang melakukan kajian terkait hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas selama pandemi Covid-19,” ucap Komisioner Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga saat menjadi pembicara dalam “Webinar Best Practices, Lesson Learnt, Challenges and Ways Forward in Implementing CRPD Approaches and Principles during Pandemic: Advancing Human Rights through Digital Technology” yang dilaksanakan pada Senin, 3 Mei 2021.

Dalam webinar yang dilaksanakan oleh ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) ini, Sandra  -- sapaan akrab Sandrayati Moniaga -- menjelaskan pada situasi pandemi Covid-19 yang paling menantang adalah mengubah metode pembelajaran konvensional yang dulunya dengan tatap muka menjadi format pembelajaran baru yang disebut pembelajaran jarak jauh. Hal ini tentu memiliki dampak yang jelas pada dunia pendidikan.

Sandra menyiapkan paparannya bersama dengan peneliti Komnas HAM Yeni Rosdianti. Mereka mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi tantangan di sini. Ada keterbatasan kemampuan guru untuk menggunakan dan mengintegrasikan teknologi ke dalam ruang kelas virtual karena kurangnya sumber daya, waktu, dan dukungan. Sebagian besar orang tua menghadapi kesulitan dalam menghadapi substansi dan teknologi dalam mendukung anak-anak mereka yang disabilitas dalam melakukan pembelajaran di rumah. “Saat ini, tidak dapat dipungkiri siswa tanpa disabilitas saja mengalami kendala, apalagi siswa penyandang disabilitas. Mereka tentu membutuhkan lebih banyak bantuan dan dukungan,” kata Sandra dengan nada tegas.

Lebih dari itu, ada kebutuhan koneksi internet berkecepatan tinggi di seluruh tempat, sementara pada kenyataannya akses internet di banyak daerah terpencil sangat terbatas, bahkan tidak tersedia. Penggunaan sumber daya jarak jauh juga berdampak pada praktik bagi siswa penyandang disabilitas. Siswa penyandang disabilitas sangat mungkin tidak dapat dengan benar menjalankan konten teoritis ke dalam praktik di rumah.

Penutupan sekolah memaksa anak-anak penyandang disabilitas tinggal di rumah untuk durasi yang lebih lama. Hal ini dapat meningkatkan stres pada anak-anak, menambah ketegangan dan menurunkan kondisi kesehatan mental anak-anak dan orang tua di rumah. “Temuan penelitian kami menunjukkan ada peningkatan yang signifikan pada stres pengasuhan dalam mendukung anak-anak penyandang disabilitas,” ujar Sandra.

Tidak hanya siswa dan orang tua yang menghadapi kesusahan dalam situasi ini. Sekolah juga menghadapi masalah kurangnya akses ke materi pembelajaran untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Temuan Komnas HAM menunjukkan para guru juga mengalami stres yang disebabkan oleh pengajaran jarak jauh. Ada sisi negatif dari teknologi seperti penggunaan gadget (peranti elektronik dengan fungsi praktis) untuk tujuan lain selain sekolah. Ditemukan beberapa siswa penyandang disabilitas mengalami kecanduan. Oleh karena itu, organisasi penyandang disabilitas (OPD) memiliki peran strategis dalam memberikan dukungan tambahan, selain dukungan penuh dari pemerintah.

Menutup paparannya, Sandra memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, perlu  mengembangkan pedoman yang dapat mengatasi nilai bersama dalam pandemi ini, khususnya di bidang hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas yang harus difokuskan pada aksesibilitas. Kedua, menggunakan teknologi baru dalam menciptakan alat respons pandemi yang efektif serta merancang perlindungan institusional dengan cara termudah untuk diikuti. Ketiga, guru, siswa, serta orang tua harus didukung dengan protokol dan arahan agar dapat membangun ketahanan dengan mengembangkan nilai bersama pendidikan inklusif, meningkatkan kapasitas individu serta kapasitas kelembagaan dalam adopsi teknologi yang diakses. Keempat, mempersiapkan langkah-langkah penghemat untuk kembali ke sekolah -- tatap muka dan metode blended learning -- di sekolah “new-normal” yang akan datang, jika memungkinkan. Hal ini penting pada hak untuk pendidikan serta hak atas kesehatan. Kelima, pemerintah harus berkolaborasi dan mendukung organisasi penyandang disabilitas dalam memajukan dan tegaknya hak-hak orang dengan disabilitas di semua tingkatan pekerjaan mereka.

Sandra menanggapi pertanyaan dari peserta terkait kegiatan pemantauan dari Komnas HAM untuk memastikan semua respons dari pemerintah ramah disabilitas dan intervensi Komnas HAM saat pandemi Covid-19, khususnya bagi penyandang disabilitas. Sandra menerangkan, Komnas HAM dalam melakukan kerja-kerja pemantauan sebagian besar dilakukan atas dasar kasus ketika ada pengaduan. Namun, Komnas HAM melalui Bagian Pengkajian dan Penelitian HAM juga melakukan penelitian dan kajian, yang dianggap sebagai pemantauan oleh orang lain.

“Berkenaan dengan Covid-19, Komnas HAM memiliki kerja proaktif namun tidak khusus pada dampak terhadap penyandang disabilitas. Bagian Pengkajian dan Penelitian HAM  sedang melakukan penelitian tentang dampak Covid-19 yang berfokus pada hak atas pendidikan untuk penyandang disabilitas. Itulah sebabnya presentasi saya pada aspek itu, karena kami tidak dapat melakukan pemantauan umum, harus spesifik,” ucap Sandra menutup tanggapannya. (Utari Putri/LY).

Short link