Kabar Latuharhary

ISKCON Indonesia Mengadukan Dugaan Pelanggaran Hak Beragama dan Berkeyakinan

Kabar Latuharhary – Komnas HAM menerima pengaduan dari International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Indonesia pada Selasa, 8 April 2021, terkait dengan dugaan pelanggaran HAM terkait hak beribadah dan berkeyakinan.

Sekretaris Jenderal ISKCON Indonesia Putu Wijaya menyampaikan hak beribadah mereka telah dibatasi oleh berbagai pihak. “Kami sangat resah, tempat sembahyang kami ditutup oleh pihak tertentu,” ujar Putu Wijaya.

Lebih lanjut Putu Wijaya menjelaskan, pembatasan dilakukan dengan menutup tempat ibadah Ashram Krishna Balaram, dan Ashram Radha Mahacandra. Tindakan tersebut diduga didukung oleh pemerintah. “Sehingga kami merasa dirugikan selaku umat manusia yang memiliki hak untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing,” keluh Putu Wijaya.

Selain itu Putu Wijaya menyampaikan bahwa Yayasan ISKCON dituduh tidak melakukan dresta -- tradisi adat istiadat yang berlaku di suatu masyarakat -- Bali. Padahal dia dan umat lainnya merupakan orang Bali, dan tetap menghormati ajaran leluhur. “Dresta merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Kami dikatakan non dresta Bali, padahal kami sendiri orang Bali, guru rohani kami orang Bali. Yayasan kami berpusat di Bali, dan kami tetap mengikuti dresta Bali. Kami selaku umat beragama Hindu dan sebagai pemangku adat dikeluarga kami, bagaimana bisa kami tidak melakukan dresta Bali? Padahal kami selaku umat beragama yang melakukan atau menghaturkan sesajen kepada keluarga kami sendiri,” papar Putu Wijaya.

Melalui pengaduan tersebut International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Indonesia berharap larangan atas aktivitas mereka dicabut agar situasi serta kondisi kembali menjadi kondusif seperti semula.



Menanggapi pengaduan dari ISKCON, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyampaikan bahwa Komnas HAM akan segera menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan mengikuti standar dan mekanisme yang ada di Komnas HAM. Terkait penanganan kasus, sesuai mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat dua mekanisme. Pertama, pemantauan dan penyelidikan, sedangkan mekanisme kedua adalah mediasi. Mengenai hal tersebut, Komnas HAM akan mempertimbangkan mekanisme yang paling baik dan efektif untuk menyelesaikan kasus ISKCON.

“Mekanisme pemantauan dan penyelidikan, kami akan meminta keterangan dari para pihak sebagai bahan mediasi, nanti kita akan mengeluarkan rekomendasi. Dan untuk mekanisme mediasi, Komnas HAM akan mempertemukan semua pihak yang terkait, baik pengadu dan yang diadukan, sebagai forum klarifikasi. Nanti kami akan mempertimbangkan mekanisme mana yang paling baik, dan efektif untuk mencari solusi bersama,” ucap Beka Ulung Hapsara.

Beka Ulung Hapsara menegaskan bahwa dalam sengketa atau konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan, tidak hanya fokus dalam penyelesaian satu kasus saja. Namun bagaimana meletakkan kasus tersebut dalam konteks yang lebih luas. Hal ini dilakukan agar kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut tidak melebar kemana-mana. “Soal iman mungkin memang ada perbedaan. Tetapi, soal kemanusiaan, soal kehidupan sehari-hari warga negara harus tetap diperhatikan,” kata Beka Ulung Hapsara.

Proses penyelesaian kasus ISKCON ada beberapa tahap lanjutan, Komnas HAM akan meminta keterangan pertama dari Gubernur Bali. Selain itu, Komnas HAM akan berkirim surat ke kepolisian untuk meminta peran kepolisian dalam menjaga proses penyelesaian kasus tersebut.

“Kami akan meminta peran serta Polda Bali untuk menjaga kondusivitas dalam artian perlindungan kepada ISKCON. Tidak boleh ada perusakan aset pribadi atau aset yayasan. Dan tidak boleh ada intimidasi, ancaman kekerasan, dan lain lain,” tegas Beka Ulung Hapsara.

Penulis: Annisa Radhia.

Editor: Liza Yolanda.


Short link