Kabar Latuharhary

Pembatasan Hak Berekspresi Harus Ketat dan Tidak Sewenang-wenang

Kabar Latuharhary – Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar RI 1945. Adapun pembatasan hanya diperkenankan untuk hak berekspresi, dengan mekanisme yang ketat dan tidak diskriminatif.

“Dalam prinsip HAM, kebebasan berekspresi itu ada pembatasan, tidak sebebas-bebasnya. Jadi, salah jika ada orang yang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi itu tidak ada batasnya. Hanya pembatasannya itu juga harus ketat untuk memastikan bahwa tidak ada yang terlanggar haknya,” kata Beka Ulung Hapsara Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM saat menjadi pemateri acara online Paralegal Studies for Churches oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bethel Indonesia Jumat, 11 Juni 2021.

Beka – sapaan Beka Ulung Hapsara -- menyatakan bahwa kebebasan berpendapat berkaitan dengan bagaimana seseorang mengeluarkan fikiran yang dimilikinya. Terkait hal tersebut negara dituntut untuk menahan diri dari campur tangan terhadap kebebasan berpendapat. “Negara tidak bisa intervensi begitu saja terhadap kebebasan berpendapat. Ada sensor-sensor yang penting untuk kita lihat bersama di mana batasnya,” ujar Beka.

Lebih lanjut Beka menyampaikan bahwa kebebasan berekspresi merupakan kebebasan menyatakan pendapat yang berhubungan dengan publik dan berkaitan dengan kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi serta pemikiran apapun. Dalam hal ini, dapat berupa ekspresi budaya dan seni, agama, iklan, jurnalisme, dan lain sebagainya.

Terkait pembatasan hak untuk berekspresi, menurut Beka, yang pertama bahwa pembatasan itu harus diatur berdasarkan hukum. “Sebaik mungkin (hukum itu) adalah UU, kenapa? Karena UU pasti lahir dari proses atau diskusi panjang yang partisipatif serta melibatkan eksekutif dan legislatif. Ada saling kontrol di situ, legislatif memastikan bahwa wakil rakyat memang bekerja penuh untuk yang diwakilinya,” ujar Beka.
 

Selain itu, pembatasan diperlukan dalam masyarakat demokratis, untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan melindungi hak serta kebebasan orang lain.

“Kebebasan berekspresi bisa dibatasi. Misalnya, dalam pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, jelas bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi itu dibatasi dan ada dua pembatasannya. Untuk alasan keamanan nasional dan untuk menghormati harkat dan martabat orang lain,” ucap Beka.

Sedangkan pembatasan untuk melindungi kesehatan publik, Beka memberikan contoh penerapannya seperti disituasi pandemik Covid-19 yang saat ini tengah terjadi. “Misal, sekarang zamannya Covid-19, orang itu tidak bebas. Kalau mau bepergian atau mobilisasi harus menggunakan masker. Selain itu juga disarankan stay at home, working from home, supaya tidak memperparah penularan Covid-19. Itu atas nama kesehatan publik, kebebasan untuk berpindah-pindah itu bisa dibatasi,” tutur Beka.

Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Banu Abdillah

Short link