Kabar Latuharhary

KEK Mandalika Wajib Berstandar HAM

Kabar Latuharhary – Meskipun menghadapi berbagai masalah dan mendapat catatan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyarankan agar KEK Mandalika terus dijalankan.

“Proyek ini tidak boleh berhenti tapi harus jalan terus dengan perbaikan sesuai standar hak asasi manusia,” kata Beka saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Kegiatan Studi Lapangan Isu Strategis Nasional (SLISN) Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXII Tahun 2021 Lembaga Pertahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) yang dilaksanakan pada Senin, 14 Juni 2021 dengan tema Penanganan Isu-Isu Strategis Nasional di Daerah dalam Mendukung Pembangunan Nasional.

Beka -- sapaan akrab Beka Ulung Hapsara -- meneropong isu KEK Mandalika dari perspektif hak asasi manusia (HAM). KEK adalah suatu kawasan dengan batas tertentu yang tercakup dalam daerah atau wilayah untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Beka memulai penjelasannya dengan menyampaikan bahwa isu KEK Mandalika saat ini tengah menjadi perhatian internasional. Hal ini karena pada 4 Maret 2021, Pelapor Khusus (special rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat laporan terkait Mandalika. “Proyek Mandalika ini proyek istimewa, juga bagi PBB. Untuk pertama kalinya, lebih dari lima pelapor khusus PBB bergabung menyusun laporan terkait hal tersebut,” ujar Beka.

Lebih lanjut Beka menyampaikan, sesuai pasal 89 ayat 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM mempunyai mandat untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan. Dalam kasus Mandalika, Komnas HAM melakukan pemantauan dan penyelidikan karena pada 14 Agustus 2020 telah menerima pengaduan terkait dugaan pengosongan dan atau penggusuran paksa yang dilakukan oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) terhadap sembilan orang warga selaku pemilik 10 bidang lahan untuk pembangunan Sirkuit Moto GP Mandalika. Dalam aduan, masyarakat pada pokoknya tidak keberatan lahannya digunakan sepanjang dibayar sesuai ketentuan yang berlaku, mengingat selama dalam kepemilikan dan atau penguasaannya masyarakat tidak pernah melakukan pelepasan atau peralihan kepada siapapun.



Beka pun menjelaskan, berdasarkan pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan pada 28 September - 1 Oktober 2020 dan 12 - 15 Oktober 2020, Komnas HAM mendapatkan beberapa temuan. Temuan tersebut antara lain berdasarkan hasil verifikasi diperoleh data korban sebanyak 15 orang selaku pemilik 17 lahan dengan luas mencapai 211.235 m2. Setelah dilakukan pemeriksaan dokumen, warga dan ITDC pun sama-sama mengklaim memiliki alas hak kepemilikan atau penguasaan lahan.

“Warga memperoleh lahan dari hasil membuka hutan dan memiliki legalitas berupa Pipil Garuda, IPEDA, SPPT Pajak dan mengaku selama menguasai lahan tidak pernah melakukan pelepasan atau peralihan hak kepada siapapun. Sedangkan ITDC mendasarkan pada HPL yang terbit pada 2010 sebagai legalitas penguasaannya,” kata Beka.

Terkait permasalahan tersebut, Komnas HAM telah menyampaikan permintaan secara tertulis melalui surat tertanggal 6 Oktober 2020 maupun secara langsung kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah penyelesaian atas lahan Sirkuit Moto GP Mandalika. Selain itu, Komnas HAM juga telah merekomendasikan kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Direktur Utama ITDC, tim teknis dan lain-lain untuk mengambil langkah-langkah penanganan dan atau penyelesaian atas masalah lahan Sirkuit Moto GP Mandalika tertanggal 14 Oktober 2020.

Beka menambahkan, setelah Komnas HAM melakukan pemantauan dan penyelidikan, terjadi langkah perbaikan dalam pola pendekatan yang digunakan ITDC dan tim teknis dalam menyikapi tuntutan masyarakat. “Setelah Komnas HAM turun, ada perbaikan dilakukan ITDC. Pada prinsipnya, pembangunan sirkuit Moto GP Mandalika harus berpegang pada prinsip-prinsip yang ada dalam United Nation Guiding Principles on Bussines and Human Rights,” ucap Beka.

Komnas HAM menekankan pada tiga hal utama. Pertama soal penyelesaian aduan, kemudian proses perbaikan standar dan proses pembangunan KEK Mandalika dan ketiga yang penting adalah soal jaminan ketidakberulangan. Artinya penggusuran, persoalan tanah ini harus diselesaikan dengan standar HAM.

Beberapa entitas bisnis internasional pun menghubungi Komnas HAM untuk meminta saran apakah benar ada pelanggaran HAM atau tidak pada KEK Mandalika. “Kita harus benar-benar memandang serius standar bisnis dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan Mandalika ini. Karena lagi-lagi bukan hanya soal penonton atau bisnis, tapi juga bagaimana menjaga martabat manusia yang terdampak sesuai standar internasional,” tutur Beka.

Dalam diskusi, hadir pula beberapa narasumber lain yaitu Direktur Pengembangan Destinasi Regional II Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia Wawan Gunawan; Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi/ BKPM Riyatno; dan Direktur Operasi dan Inovasi Bisnis PT Pengembangan Pariwisata Indonesia/ Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Arie Prasetyo.

Penulis: Utari Putri.
Editor: Liza Yolanda.

                                                                             

Short link